Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, memberi peringatan keras kepada pemerintah agar tidak lengah terhadap kenaikan harga pangan pokok, terutama beras. Menurutnya, gejolak harga pangan bukan hanya urusan dapur masyarakat, tetapi bisa menjelma menjadi masalah serius yang mengancam stabilitas ekonomi, politik, hingga kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Harga pangan itu sangat sensitif. Kalau naik, dampaknya bisa berantai: ekonomi terguncang, politik memanas, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun bisa tergerus,” tegas Firman dalam keterangan resminya, Selasa (26/8/2025).
Firman mengingatkan pengalaman pahit Indonesia pada krisis moneter 1997–1998, ketika harga pangan pokok melonjak tajam, daya beli masyarakat anjlok, dan keresahan sosial meluas. Krisis ekonomi itu kemudian bertransformasi menjadi krisis politik yang berujung pada demonstrasi besar dan perubahan rezim.
“Kenaikan harga beras waktu itu bukan sekadar inflasi biasa. Itu memukul rakyat kecil, menurunkan legitimasi pemerintah, dan akhirnya menjadi faktor pemicu krisis politik. Ini jangan sampai terulang,” ujar politisi senior Partai Golkar ini.
Ia juga menguraikan sejumlah contoh internasional. Di Venezuela, krisis ekonomi yang disertai kelangkaan pangan melumpuhkan kehidupan sehari-hari rakyat dan melahirkan instabilitas politik yang berkepanjangan.
Di Haiti dan Somalia, ketidakmampuan pemerintah menyediakan pangan layak bagi rakyat menjadi salah satu faktor pemicu ketidakstabilan sosial. Bahkan di Tunisia dan Mesir, gejolak harga kebutuhan pokok memicu demonstrasi besar pada 2011 yang berujung pada tumbangnya rezim pemerintahan.
“Sejarah global membuktikan, pangan adalah persoalan mendasar. Kalau pemerintah gagal menjaganya, krisis ekonomi akan berubah menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan,” tambah Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI.
Tiga Pilar Solusi
Untuk mencegah terulangnya situasi tersebut, Firman memaparkan solusi yang menurutnya harus menjadi prioritas pemerintah. Pertama, pemberian subsidi langsung kepada masyarakat miskin.
Firman menekankan pentingnya jaring pengaman sosial yang benar-benar tepat sasaran. Menurutnya, subsidi pangan bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan juga kebijakan politik untuk meredam potensi keresahan sosial.
“Subsidi harus langsung menyasar masyarakat miskin, bukan disalurkan melalui mekanisme yang rawan kebocoran. Jangan sampai rakyat kecil dibiarkan berhadapan sendirian dengan harga beras yang naik,” kata Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.
Kedua, pengawasan ketat terhadap harga di pasar. Firman menyebut, salah satu pemicu tingginya harga pangan adalah praktik spekulasi, penimbunan, dan kartel. Karena itu, ia mendorong pemerintah dan aparat hukum bertindak tegas terhadap pelaku usaha nakal.
“Kalau ada pihak yang sengaja menimbun beras, gula, atau minyak goreng demi keuntungan pribadi, itu sama saja menghianati kepentingan rakyat. Pemerintah harus hadir dengan pengawasan yang tegas dan sanksi yang jelas,” tegasnya.
Ketiga, peningkatan produksi dalam negeri. Menurut Firman, memperkuat produksi pangan nasional adalah solusi jangka panjang agar Indonesia tidak bergantung pada impor yang rentan fluktuasi harga global.
Ia menilai, program ketahanan pangan harus dilengkapi dengan modernisasi pertanian, penyediaan bibit unggul, pupuk yang terjangkau, serta teknologi pasca-panen.
“Kalau produksi beras dalam negeri kuat, petani sejahtera, distribusi lancar, maka harga bisa stabil. Jangan terus-menerus bergantung pada impor, karena itu hanya membuat kita rentan terhadap gejolak internasional,” jelasnya.
Selain tiga pilar utama tersebut, Firman juga menyoroti pentingnya perbaikan infrastruktur distribusi pangan. Menurutnya, disparitas harga antara pusat dan daerah seringkali disebabkan oleh ongkos logistik yang tinggi.
“Di Papua, Maluku, dan sebagian wilayah timur, harga beras bisa jauh lebih mahal hanya karena biaya distribusi yang tinggi. Ini harus diatasi dengan membangun jalur logistik yang efisien, memperkuat transportasi laut, dan memangkas rantai distribusi yang terlalu panjang,” katanya.
Firman menegaskan, menjaga harga pangan berarti menjaga stabilitas nasional. Menurutnya, jika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, maka keresahan bisa berkembang menjadi ketidakpuasan politik dan hilangnya kepercayaan pada pemerintah.
“Kuncinya ada pada ketersediaan dan keterjangkauan. Kalau pangan tersedia dan bisa dibeli dengan harga wajar, maka stabilitas ekonomi, politik, dan sosial akan ikut terjaga. Tapi kalau sebaliknya, pemerintah yang akan menghadapi gelombang ketidakpuasan,” pungkasnya.