DPP  

Revisi Draft RUU Perampasan Aset Diusulkan, Henry Indraguna: Perkuat Transparansi dan Penegakan Hukum!

Berita GolkarRancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi isu yang menyita perhatian publik. Karenanya perlu ada revisi yang bertujuan memperkuat penegakan hukum sekaligus mencegah penyalahgunaan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH. MH mengusulkan beberapa perubahan krusial atas RUU yang diyakini mampu menjawab kejahatan extraordinary ini. Dia menyebut bahwa revisi ini dirancang agar regulasi lebih konstitusional, transparan, dan terhindar dari risiko politisasi.

“Dengan pendekatan berimbang, usulan ini berupaya memastikan keadilan bagi semua pihak tanpa mengorbankan efektivitas penegakan hukum,” tegas Prof Henry kepada suarakarya.id di kantornya Henry Indraguna Partners (HIP) Law Firm di SCBD, Sudirman, Jakarta, Kamis (4/9/2025).

Prof Henry menyebutkan bahwa pasal 2 tentang perampasan aset tanpa pemidanaan menjadi salah satu fokus revisi. Versi asli draft saat ini menyebutkan Perampasan Aset berdasarkan Undang-Undang ini tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana.

“Akan lebih aman jika diubah menjadi, Perampasan Aset berdasarkan Undang-Undang ini dilakukan melalui proses peradilan perdata yang menjamin hak pembelaan para pihak, dan hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat bukti permulaan yang sah mengenai keterkaitan aset dengan tindak pidana, meskipun tanpa putusan pidana terhadap pelakunya,'” jelasnya.

Menurutnya, memang ada perbedaan dengan pasal asli yang tidak menyebutkan mekanisme hukum spesifik, usulan revisi ini memperkuat dasar hukum dengan mewajibkan proses peradilan perdata dan bukti awal untuk mengurangi risiko pelanggaran hak pihak terkait.

“Perampasan harus memiliki landasan hukum yang jelas agar tidak terjadi kesewenang-wenangan,” tegas Prof Henry.

Kemudian untuk Pasal 5 ayat (2) huruf a, tentang aset yang tidak seimbang dengan penghasilan sah. Dalam draft saat ini disebutkan “Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan … yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana…”

Menurut Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang, ayat ini perlu dibuat parameter dengan mengusulkan revisi menjadi, “Aset yang nilai totalnya melebihi 50% dari penghasilan sah yang dapat diverifikasi melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT), atau dokumen keuangan resmi lainnya dalam periode 5 (lima) tahun terakhir, dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah serta diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana.”

“Pasal awal tidak memiliki parameter kuantitatif, membuka peluang interpretasi subjektif. Revisi ini memperkenalkan ambang batas 50% dari penghasilan sah yang diverifikasi, memberikan kejelasan dan objektivitas yang absen pada versi asli. Indikator ini mencegah penyalahgunaan dengan dasar yang terukur,” terangnya.

Revisi draft berikutnya di Pasal 6 ayat (1) huruf a yang mengatur batas nilai aset untuk perampasan. Versi saat ini berbunyi, “Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini mengusulkan menjadi, “Aset dengan nilai berapa pun yang terbukti merupakan hasil tindak pidana dapat dirampas. Dalam hal nilai aset kecil namun merupakan bagian dari satu rangkaian tindak pidana dengan nilai kumulatif melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), maka seluruh aset dapat dirampas.”

Dia berpandangan pasal awal yang membatasi perampasan pada aset minimal Rp100 Juta, berpotensi mengabaikan aset bernilai kecil dari tindak pidana.

Revisi ini menghapus batas minimum, memungkinkan perampasan aset kecil yang terkait rangkaian tindak pidana, sehingga memperluas cakupan penegakan hukum. “Tidak ada aset hasil kejahatan yang boleh lolos, sekecil apa pun,” tandasnya.

Lembaga Pengelolaan Aset Rampasan Negara

Berikutnya yang menjadi sorotan adalah Pasal 19 dan 31 tentang hak keberatan. Pasal asli, khususnya pasal 19 ayat (5), menyebutkan, “Keberatan … tidak dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa yang melarikan diri dan/atau dengan status dalam daftar pencarian orang, terdakwa yang disidangkan secara in absentia, dan/atau kuasanya.

Atas hal ini, Prof Henry mengusulkan agar pasal itu diubah menjadi “Keberatan dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, termasuk keluarga atau kuasa hukum tersangka/terdakwa yang berstatus daftar pencarian orang atau disidangkan in absentia, sepanjang tidak menghalangi proses pemeriksaan perkara. Aset tetap dibekukan selama proses keberatan berlangsung.”

“Berbeda dengan awalnya yang membatasi hak keberatan pihak ketiga, revisi ini melindungi pihak ketiga yang beritikad baik tanpa mengganggu proses hukum. Keadilan harus menjangkau semua pihak, termasuk keluarga tersangka,” tandasnya.

Kemudian di Pasal 56 tentang pemindahtanganan aset sebelum putusan inkracht juga diusulkan untuk diperbaiki. Awalnya di ayat (1) menyatakan, “Jaksa Agung dapat melakukan pemindahtanganan Aset Tindak Pidana, baik sebelum maupun setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Ayat ini kata Prof Henry diusulkan diubah menjadi “Jaksa Agung hanya dapat melakukan pemindahtanganan Aset Tindak Pidana setelah mendapat izin khusus dari pengadilan.

Dalam hal dilakukan penjualan/lelang sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hasil lelang wajib ditempatkan dalam rekening penampungan khusus (escrow account) sampai terdapat putusan final.”

“Jika pasal awal memberikan wewenang luas kepada Jaksa Agung maka berisiko disalahgunakan. Revisi membatasi wewenang dengan syarat izin pengadilan dan penggunaan escrow account, meningkatkan pengawasan. Ini untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan sebelum putusan final,” jelas pengacara kondang ini.

Tak kalah penting adalah Pasal 59 ayat (3) tentang daluwarsa pengembalian aset. Sebelumnya ditulis bahwa “Pengembalian Aset Tindak Pidana … dinyatakan gugur karena kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun…”.

Prof Henry mengusulkan agar pasal itu diubah menjadi “Pengembalian Aset Tindak Pidana … dapat dimintakan paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa mengurangi hak pihak ketiga yang beritikad baik untuk menuntut ganti kerugian melalui mekanisme perdata sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”

“Lima tahun itu terlalu singkat, sedangkan revisi memperpanjang menjadi sepuluh tahun, memberikan waktu lebih bagi pihak ketiga untuk mengajukan klaim,” kata penulis buku dengan tajuk: Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana Korupsi, Kaidah Hukum Dan Doktrin-doktrin Dalam Tindak Pidana Korupsi ini.

Untuk Pasal 51–58 tentang kewenangan Jaksa Agung juga diusulkan untuk diubah. Sebelumnya di Pasal 51 ayat (1), menyatakan, “Jaksa Agung wajib melaksanakan tugas Pengelolaan Aset.”

Pasal ini diusulkan menjadi “Pengelolaan Aset dilaksanakan oleh Lembaga Pengelolaan Aset Rampasan Negara yang bersifat independen, berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan, dengan supervisi Kejaksaan Agung.”

Lembaga ini juga wajib diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun dan hasilnya diumumkan secara terbuka. Menurutnya, hal ini sangat berbeda dengan draft awal yang menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada Jaksa Agung. “Revisi ini membentuk lembaga independen dengan audit tahunan sehingga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas,” tegas Prof Henry.

Ada lagi di pasal 60–61 tentang sistem informasi aset dan transparansi. Jika dalam draft asli, khususnya Pasal 61 ayat (2) huruf c, hanya menyebutkan, “Membuka akses informasi Pengelolaan Aset.” , maka diusulkan revisi menjadi “Membuka akses informasi Pengelolaan Aset secara terbuka kepada publik, paling sedikit mengenai nilai aset, status hukum, lokasi penyimpanan, dan hasil pemindahtanganan/lelang, dengan tetap menjaga perlindungan data pribadi.”

“Revisi ini lebih rinci, memastikan keterbukaan data spesifik dibandingkan pasal asli yang bersifat umum. Karena transparansi adalah kunci kepercayaan publik,” terangnya.

Dalam hal pengamanan, dia mengusulkan ada Pasal 62A yang tidak ada sebelumnya. Yang perlu ditambahkan adalah pasal yang berbunyi, “Perampasan Aset dilarang digunakan sebagai sarana untuk tujuan politik, diskriminasi, atau kepentingan di luar penegakan hukum. Setiap dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam perampasan aset dapat diajukan pengaduan kepada Komisi Pengawas Independen yang terdiri dari Ombudsman, Komnas HAM, BPK, dan unsur masyarakat sipil.”

“Pasal baru ini untuk mencegah politisasi, menawarkan mekanisme pengawasan yang absen pada versi asli,” kata Profesor HC dengan tacit knowledge: Merefleksi dan Menguraikan Akar Masalah Dalam Pemberantasan Korupsi Melalui PendidikanvMoral Anti Korupsi yang Holistik.

Prof Henry menegaskan bahwa revisi ini membuat RUU lebih konstitusional, objektif, dan sulit diuji di Mahkamah Konstitusi. “Dengan parameter jelas seperti LHKPN dan SPT, pengawasan independen, serta perlindungan pihak ketiga, regulasi ini akan adil dan tidak mudah disalahgunakan,” katanya.

Dia lalu menyebutkan bahwa hukum sesungguhnya bukan sekadar pasal-pasal yang tertuang dalam produk hukum. Prof Henry mengutip pernyataan John Locke yang menyimpulkan bahwa ketika hukum berakhir, maka tirani dimulai.

”Revisi ini diharapkan menjadi landasan kuat bagi pengesahan RUU yang berimbang, transparan, dan efektif, memastikan hukum menjadi benteng keadilan, bukan alat penindasan,” tegas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

Leave a Reply