Berita Golkar – Pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH, MH menyambut positif itikad baik Parlemen untuk menggarap dan merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang pekan ini akan masuk dalam pembahasan Badan Legislasi (Baleg) sebagai inisiatif DPR RI dalam program prolegnas 2025-2026.
Prof Henry memberikan apresiasi kepada Legislator Senayan yang menunjukkan political will atas desakan masyarakat melalui perjuangan mahasiswa dan elemen bangsa lainnya yang dituangkan dalam petisi 17+8 yang di dalamnya terdapat point tuntutan UU Perampasan Aset atas maraknya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme dari pejabat negara.
Menurut Prof Henry, RUU Perampasan Aset dinilai sebagai senjata ampuh untuk memerangi korupsi, pencucian uang, dan kejahatan luar biasa lainnya. Namun, tanpa revisi yang tepat, regulasi ini berpotensi menjadi alat kriminalisasi politik yang justru melanggar hak asasi manusia.
Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini berpandangan draft RUU saat ini masih menyisakan celah yang dapat memicu ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang.
“Perampasan aset harus menjadi jalan menuju keadilan dan pemberantasan korupsi, bukan alat kriminalisasi untuk memiskinkan lawan politik,” tegas Prof Henry.
Dia lalu menawarkan sejumlah usulan revisi untuk memastikan RUU ini konstitusional, transparan, dan adil.
Salah satu poin krusial yang digagas ProfbHenry adalah revisi pasal 2 tentang perampasan aset tanpa pemidanaan. Draft asli menyebutkan bahwa perampasan aset tidak memerlukan putusan pidana terhadap pelaku, yang berpotensi membuka ruang kesewenang-wenangan.
“Perampasan aset dilakukan melalui proses peradilan perdata yang menjamin hak pembelaan para pihak, dan hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat bukti permulaan yang sah mengenai keterkaitan aset dengan tindak pidana,” jelasnya.
Langkah ini, menurut Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat dalam mencegah penyalahgunaan wewenang.
Pada pasal 5 ayat (2) huruf a, Prof Henry menyoroti ketentuan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan sah. Untuk menghindari tafsir subjektif, ia mengusulkan parameter kuantitatif yang jelas.
“Aset yang nilai totalnya melebihi 50% dari penghasilan sah yang dapat diverifikasi melalui LHKPN, SPT, atau dokumen keuangan resmi lainnya dalam periode 5 tahun terakhir. Ini bertujuan memperkuat akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan,” tutur Prof Henry.
Tak hanya itu, pasal 6 ayat (1) huruf a tentang batas nilai aset juga direvisi. Draft asli menetapkan batas minimal Rp100 Juta untuk aset yang dapat dirampas.
Tentang hal ini, Prof Henry mengusulkan agar “aset dengan nilai berapa pun yang terbukti merupakan hasil tindak pidana dapat dirampas,” terutama jika merupakan bagian dari rangkaian kejahatan dengan nilai kumulatif di atas Rp100 Juta.
“Tidak ada aset hasil kejahatan yang boleh lolos, meskipun nilainya kecil,” tandasnya.
Untuk melindungi pihak ketiga yang tidak bersalah, Prof Henry mengusulkan revisi pasal 19 dan 31 tentang hak keberatan. Pengacara kondang ini juga negaskan bahwa keluarga atau kuasa hukum tersangka yang berstatus buron atau disidangkan in absentia tetap berhak mengajukan keberatan, sepanjang tidak mengganggu proses pemeriksaan.
“Aset tetap dibekukan selama proses keberatan dimaksudkan untuk menjaga keadilan,” terang Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Sementara itu, soal revisi pasal 56 membatasi wewenang Jaksa Agung dalam pemindahtanganan aset sebelum putusan inkracht, Prof Henry menegaskan bahwa pemindahtanganan hanya boleh dilakukan dengan izin pengadilan, dan hasil lelang harus ditempatkan di escrow account hingga putusan final.
“Ini untuk memastikan checks and balances dan mencegah penyalahgunaan,” tegasnya.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini juga mengusulkan pasal 62A yang melarang penggunaan perampasan aset untuk tujuan politik atau kriminalisasi.
“Setiap dugaan penyalahgunaan dapat diajukan ke Komisi Pengawas Independen, dan perampasan dengan motif politik dinyatakan batal demi hukum,” kata Prof Henry.
Selain itu, pasal 62C menjamin perlindungan aset sah milik keluarga atau pihak ketiga yang tidak terkait tindak pidana, sementara Pasal 62D mengatur sanksi pidana 5–10 tahun bagi aparat yang menyalahgunakan wewenang..
Lembaga Pengelolaan Aset Rampasan Negara
Dalam pengelolaan aset rampasan (pasal 51–58), Prof Henry mengusulkan pembentukan Lembaga Pengelolaan Aset Rampasan Negara yang independen, di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan supervisi oleh Kejaksaan Agung.
“Lembaga ini wajib diaudit oleh BPK setiap tahun, dengan hasil audit diumumkan secara terbuka,” tuturnya.
Terkait daluwarsa pengembalian aset (pasal 59 ayat (3), Prof Henry mengusulkan perpanjangan dari 5 tahun menjadi 10 tahun sejak putusan inkracht “Ini memberikan waktu yang cukup bagi pihak ketiga untuk menuntut haknya melalui mekanisme perdata,” jelasnya.
Usulan revisi ini, menurut Prof Henry, bertujuan menutup celah kriminalisasi politik, melindungi pihak tak bersalah, menjamin “due process of law” serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
“Hukum harus ditegakkan dengan menjunjung tinggi keadilan substantif, serta melindungi keluarga dan pihak yang tidak bersalah,” tegas advokat yang juga politisi ini.
Dengan revisi ini, RUU Perampasan Aset diharapkan menjadi instrumen hukum yang tidak hanya efektif memerangi korupsi. Akan tetapi juga adil dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik.