Berita Golkar – Wakil Ketua Komisi V DPR Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae menganggap wacana pemerintah untuk menaikkan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen tidak akan menyelesaikan persoalan kesejahteraan para driver.
Menurut Ridwan, permasalahan mendasar yang dihadapi pengemudi ojol bukanlah semata soal tarif, melainkan belum adanya payung hukum yang jelas dan memadai. Hingga kini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) tidak secara spesifik mengatur transportasi berbasis aplikasi.
“Tanpa regulasi yang lebih tinggi, profesi ojol masih belum memiliki pengakuan hukum yang setara dengan angkutan umum. Akibatnya, perusahaan aplikasi bisa menjalankan aturan sendiri tanpa sanksi yang tegas, sementara para pengemudi tetap menghadapi ketidakpastian penghasilan dan perlindungan,” kata Ridwan, dalam keterangannya, Jumat (12/9/2025), dikutip dari Kompas.
Ridwan memaparkan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 yang selama ini menjadi rujukan dinilai belum cukup kuat. Dia menilai, regulasi tersebut tidak memberikan kepastian hukum, jaminan hak, dan perlindungan yang memadai bagi pengemudi, termasuk mekanisme sanksi yang jelas bagi perusahaan aplikasi.
Ridwan pun mengungkit Rapat Pleno Fraksi Golkar DPR yang baru digelar beberapa hari lalu, di mana Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia memberikan arahan khusus kepada anggota Fraksi Golkar, terutama yang berada di Komisi V, untuk memberi perhatian serius pada persoalan ojol.
“Kami diminta Ketua Umum untuk memperjuangkan kepentingan para pengemudi ojol agar mereka mendapatkan hak-hak dan kesejahteraannya,” tutur dia.
Maka dari itu, lanjut Ridwan, Fraksi Golkar DPR akan mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ di DPR bersama.
“Dalam pembahasan nanti, kami ingin memastikan bahwa status dan perlindungan hukum bagi pengemudi ojol diatur secara komprehensif, mencakup aspek keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, serta hubungan kerja dengan perusahaan aplikasi. Dengan adanya UU ini, perusahaan aplikasi juga akan lebih terikat aturan dan dapat dikenakan sanksi jika melanggar ketentuan yang berlaku,” kata Ridwan.
“Yang pasti, anggota Fraksi Partai Golkar di Komisi V akan memperjuangkan secara sungguh-sungguh yang menjadi harapan para pengemudi ojol,” imbuh dia.
Di balik deru knalpot dan layar aplikasi yang terus menyala, ribuan mitra driver (pengemudi) ojek online alias ojol menapaki jalan panjang menuju kesejahteraan.
Dengan penghasilan yang kerap tak menentu dan tuntutan kerja yang tinggi, dengan status mitra, mereka terus berjuang antara harapan hidup layak dan realitas yang sering tak berpihak. Besarnya biaya pemotongan pendapatan mitra driver ojol oleh aplikasi tak sejalan dengan biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh mitra driver.
Ade Armansyah, dari Kelompok Korban Aplikator, menyatakan dirinya selama 10 tahun dijadikan sapi perah oleh para aplikator ojol lantaran hak yang didapatkan dari aplikator tidak sesuai. Hal itu dia kemukakan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama dengan Komisi V DPR RI di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
“Saat ini kami dijadikan sapi perah sama mereka kurang lebih 10 tahun. Mereka tidak mau menghitung biaya yang keluar dari kami, biaya operasional kami, bensin kami, dan kami tidak pernah tahu hitungan dasar mereka apa, sampai menetapkan harga argo sebesar Rp 3.300,” curhat dia.
Padahal, berdasarkan hitung-hitungan mereka, potongan tarif ongkos yang ditetapkan aplikator ojol cukup besar bahkan membuat mitra driver merugi. Singkatnya kata dia, setiap 10 kilometer, kerugian yang bisa dirasakan pengemudi bisa mencapai Rp 12.000.
“Mereka tidak pernah mengajak kami bicara dan kami tidak tahu variabel apa yang dipakai untuk argo itu, makanya kami minta ke mereka kalau mereka mau untung 10 persen, kami juga, karena dari hitungan kami per 10 km kami rugi Rp 12.000. Kalau mereka bisa untung 20 persen, masa kami enggak bisa untung 10 persen,” kata dia. {}