Berita Golkar – Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, Henry Indraguna, menyampaikan pandangan kritisnya terkait dinamika tuntutan publik 17 + 8 yang belakangan menjadi sorotan nasional. Menurutnya, pemerintah wajib menunjukkan sikap bijak dalam merespons aspirasi masyarakat yang disuarakan secara terbuka, agar ada kejelasan dan rasa keadilan yang bisa dirasakan oleh publik.
“Ini kan ada tuntutan dari masyarakat bahwa pemerintah harus memenuhi tuntutan 17 + 8. Kalau menurut hemat saya, apa yang diminta masyarakat itu adalah cermin dari apa yang diinginkan rakyat. Pemerintah harus mencarikan jalan solusi terbaik. Kalau bisa dilakukan, wajib dilakukan. Kalau tidak bisa, harus dijawab dengan progres dan solusi yang bijak,” ujar Henry kepada redaksi Golkarpedia di sela-sela Raker II Balitbang DPP Partai Golkar di Kota Cirebon.
Lebih lanjut, Henry menekankan bahwa poin paling krusial dalam 17 + 8 adalah percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Menurutnya, RUU ini sangat penting karena menyentuh akar masalah bangsa, yakni praktik korupsi.
“Seluruh persoalan di negeri ini bermuara pada korupsi. Kalau korupsi bisa ditekan, saya yakin pertumbuhan ekonomi kita akan membaik. RUU Perampasan Aset adalah kunci. Kalau undang-undang ini disahkan, saya percaya niat melakukan korupsi akan menurun drastis, karena seluruh hasil kejahatan akan disita tanpa ampun,” tegasnya.
Namun, Henry memberikan catatan penting bahwa pembentukan RUU Perampasan Aset tidak boleh dilakukan secara terburu-buru tanpa memperhatikan aspek hak asasi manusia dan asas hukum yang berlaku. Ia mengingatkan, jika disusun secara lemah, aturan ini justru bisa dijadikan alat politik untuk menjatuhkan lawan.
“Sekali lagi saya yang dari dulu menyerukan pengesahan RUU Perampasan Aset, tapi lebih penting lagi jangan sampai dijadikan alat kriminalisasi. Masih banyak celah dalam rancangan aturan ini. Pasal-pasal yang ambigu harus diperbaiki. Kalau tidak, bahaya, orang bisa dengan mudah dijatuhkan lewat undang-undang ini,” kata Henry yang juga Waketum DPP Bapera sekaligus Ketua LBH DPP Bapera.
Henry juga menggarisbawahi pentingnya menjaga asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebagaimana diatur dalam KUHAP. Ia menilai praktik penyitaan aset oleh aparat penegak hukum sebelum adanya putusan inkrah pengadilan adalah tindakan yang melanggar prinsip hukum dasar tersebut.
“Permasalahannya sekarang, meskipun UU Perampasan Aset belum disahkan, sudah banyak terjadi penyitaan aset dan pemblokiran rekening terhadap seseorang yang masih berstatus tersangka. Padahal asas praduga tak bersalah itu melekat sampai ada putusan inkrah. Kalau harta yang diperoleh sebelum tindak pidana terjadi ikut disita, itu bentuk pelanggaran keadilan. Penyidik jangan mengambil alih kewenangan hakim,” jelasnya.
Henry mengingatkan, jika aturan ini tidak dipagari dengan mekanisme yang jelas, potensi kriminalisasi akan semakin besar. Ia bahkan menilai, dalam kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih sarat intervensi, RUU ini bisa berubah menjadi senjata untuk memiskinkan lawan politik.
“Kalau undang-undang ini disahkan tanpa pagar yang jelas, bisa berbahaya. Orang yang tidak bersalah bisa dimiskinkan, hanya karena dijadikan korban kriminalisasi. Pertanyaannya, bagaimana dengan keluarganya, pasangannya, anak-anaknya? Di mana letak keadilannya? Jangan sampai hukum yang tujuannya untuk memberantas korupsi justru merusak masa depan orang yang tidak bersalah,” ujarnya.
Meski penuh catatan, Henry tetap menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset sangat diperlukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, penyusunan dan penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengedepankan HAM, serta memastikan penghormatan terhadap proses hukum.
“Kesimpulannya, UU Perampasan Aset harus segera diselesaikan. Tapi asas kehati-hatian, HAM, dan presumption of innocent harus tetap melekat. Penyitaan aset tidak boleh dilakukan sewenang-wenang. Harus melalui proses pengadilan perdata terlebih dahulu agar keadilan tetap terjaga,” pungkas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur ini.
Dengan pernyataan ini, Henry Indraguna menegaskan posisi Partai Golkar yang konsisten mendorong pemberantasan korupsi, namun tetap mengutamakan perlindungan hak-hak dasar kemanusiaan agar hukum tidak berubah menjadi alat politik.