Berita Golkar – Dina Hidayana, Akademisi dari Universitas Pertahanan, mengingatkan perlunya kewaspadaan adanya peningkatan kecenderungan pola impulsif masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, yang mengedepankan hedonistik dan gaya hidup ketimbang melihat nilai fungsi intrinsik dan kebutuhan riil atas barang.
Hal tersebut berlaku pula, misalnya dalam konsumsi pangan, Indonesia dinobatkan sebagai penghasil sampah sisa makanan terbesar kedua di dunia dan tertinggi di ASEAN.
“Kecenderungan konsumtif, sementara sisi lain lemah dalam visi dan inovasi, menyebabkan kita kehilangan identitas sebagai negara produsen dan semakin menjauh dari cita-cita negara adil sejahtera,” urai Dina.
Dina menambahkan, dalam konteks political will, menjadi ironi ketika data Global Hunger Index 2025, menempatkan kegawatan pangan Indonesia di peringkat ketiga terburuk di Asia Tenggara, setelah Timor Leste dan Laos, rangking 77 dari 127 negara di tingkat global, dengan kategori tingkat kelaparan moderat.
“Sementara sisi lain, tingginya limbah pangan, masifnya importasi produk strategis dan berkelimpahan “pasien malnutrisi” (obesitas, diabetes, stunting, wasting, dan sebagainya) yang menjadi problem serius generasi kekinian menunjukkan ketimpangan akut terkait produksi, konsumsi, distribusi dan teknologi. Perlu kebijakan sistematis, nasionalis dan visioner dalam pengendalian integrasinya,” tegasnya.
Euphoria pasca orde baru, nampaknya lebih banyak mempertontonkan pergeseran kearifan konvensional menjadi budaya baru yang mengedepankan kamuflase visual di semua sektor yang cenderung destruktif di satu sisi, meskipun sisi lain bermakna kemajuan bangsa dan perubahan peradaban.
Kemewahan dalam berfikir dan intensitas menajamkan diskursus untuk memperkokoh nilai tawar bangsa belum cukup bergengsi untuk bisa dianggap sebagai kekuatan, alih-alih mengutamakan penampilan dan gaya hidup prestise sebagai kepantasan utama di era kekinian.
Doktor Strategi Pertahanan ini juga menggunakan perspektif retrospeksi dalam melihat warisan hutang dari rezim ke rezim yang berpotensi mengarah pada kebangkrutan bangsa apabila pengelolaan hutang dan sumber daya nasional dilakukan secara serampangan.
Masa transisi orde lama, misalnya, mewariskan dampak ambisius berupa proyek-proyek mercusuar, meninggalkan hutang nyaris mencapai 30% PDB atau hampir menyentuh 800 milyar rupiah masa itu dengan kondisi krisis keuangan dan kelaparan parah dengan hiperinflasi 600%.
Polemik kekuatan finansial masih menjadi isu kewaspadaan, laporan Bank Indonesia Agustus 2025 mencatatkan kewajiban lebih dari 7000 trilyun pinjaman asing dengan sistem pembayaran bervariatif, sementara total APBN baru di kisaran 3000 trilyun.
“Meskipun rasio pinjaman, defisit ataupun keterbatasan fiskal bukan satu-satunya instrumen keberhasilan, namun bencana hutang, kondisi faktual masyarakat dan indikasi krisis akibat lemahnya pengelolaan, sinkronisasi potensi dan mandulnya proliferasi inovasi, bisa menstimulus kejatuhan rezim pula,” urai Dina.
Atas berbagai data dan fenomena tersebut, srikandi SOKSI ini mentautkan pentingnya kampanye atau propaganda gaya hidup proper alias menormalisasi konsumsi dalam berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
“Ketokohan dan propaganda masif memegang kunci sentral dalam mengakselerasi dimaksud, agar Indonesia tidak terus terjebak dalam hal-hal bernuansa hedonis dan gaya hidup semu yang menegasikan keunggulan jati diri sebagai bangsa produsen yang sempat digdaya dengan seluruh potensi yang kita miliki,” pungkas Dina, putri Almarhum Mardani Akabri 74 ini. {}