Berita Golkar – Golkar lahir bukan dari kompetisi elektoral, melainkan dari gagasan kebangsaan. Ketika suhu politik Indonesia memanas di awal 1960-an, sejumlah tokoh nasional menggagas wadah yang dapat menampung kekuatan sosial non-partai mulai dari pegawai negeri, profesional, organisasi fungsional, hingga ormas keagamaan untuk menjaga stabilitas nasional di tengah rivalitas ideologis antara nasionalis, komunis, dan Islam.
Dari gagasan itulah, pada 20 Oktober 1964 berdirilah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya sederhana namun visioner: memperkuat peran golongan fungsional dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks itu, Golkar sejak awal bukan sekadar partai politik, tetapi instrumen konsolidasi sosial di masa-masa penuh ketegangan ideologi antara nasionalis, komunis, dan Islam.
Dari Sekber ke Pilar Politik Nasional
Pasca 1965, Golkar bertransformasi menjadi kekuatan politik utama di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada Pemilu 1971, Golkar meraih 62,8% suara, dan sejak itu menjadi pemenang dominan dalam setiap pemilu di era Orde Baru. Di masa tersebut, Pancasila dijadikan ideologi tunggal, dan Golkar menjadi penggerak utama dalam sosialisasi nilai-nilai itu ke seluruh lapisan masyarakat.
Meski kritik terhadap hegemoni tak terhindarkan, tidak dapat dipungkiri bahwa Golkar menjadi kanal paling efektif dalam menanamkan kesadaran ideologis dan semangat kebangsaan di tengah masyarakat Indonesia yang plural.
Pasca-Reformasi 1998, ketika politik Indonesia memasuki era desentralisasi dan liberalisasi, Golkar menghadapi tantangan eksistensial: bagaimana bertahan tanpa kekuasaan negara di belakangnya?
Banyak partai baru bermunculan, namun Partai Golkar tidak larut dalam krisis identitas. Sebaliknya, ia bertransformasi menjadi partai modern yang terlembaga kuat, dengan sistem rekrutmen dan kaderisasi yang lebih mapan dibanding banyak partai lain.
Transformasi Organisasi dan Demokratisasi Internal
Perubahan paling nyata dalam tubuh Partai Golkar terlihat dari cara partai ini mengelola diri. Dalam ilmu politik, pelembagaan partai diukur dari stabilitas struktur, kejelasan ideologi, dan kapasitas kaderisasi.
Demokratisasi internal juga menjadi sorotan penting. Sejumlah kajian, termasuk karya Akbar Tanjung “The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi” (2011), mencatat bahwa reformasi internal Partai Golkar pasca 1998 bersifat sistemik. Mekanisme pemilihan ketua umum diperkuat melalui Musyawarah Nasional (Munas), partisipasi pengurus daerah diperluas, dan model konvensi terbuka untuk menentukan calon presiden pada 2004 menjadi preseden baru bagi demokrasi internal partai.
Konvensi itu melibatkan pengurus dari daerah hingga pusat dan menjadi salah satu eksperimen paling terbuka dalam sejarah partai politik Indonesia. Langkah tersebut kemudian menginspirasi model partisipatif di partai lain, meski tidak semuanya mampu menjaga konsistensinya.
Transformasi kelembagaan juga tercermin dalam tubuh institusi Partai Golkar. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga 2024 Partai Golkar memiliki kepengurusan aktif di seluruh 38 provinsi dan lebih dari 95% kabupaten/kota di Indonesia. Ini menjadikannya salah satu partai dengan struktur paling merata dan berkelanjutan secara nasional.
Secara elektoral, data resmi KPU mencatat Partai Golkar meraih 23.208.654 suara (15,28%) dan 102 kursi DPR RI pada Pemilu 2024, naik dari 85 kursi pada Pemilu 2019. Pencapaian ini menempatkan Partai Golkar di posisi kedua nasional, hanya di bawah PDIP. Kestabilan dukungan publik selama dua dekade terakhir menjadi indikator bahwa partai ini mampu beradaptasi tanpa kehilangan basis sosialnya.
Dalam tata kelola keuangan, laporan audit KPU 2024 menunjukkan bahwa Partai Golkar termasuk di antara partai besar yang menyampaikan laporan dana kampanye secara lengkap dan tepat waktu. Meski belum seluruh hasil audit dipublikasikan secara rinci, kepatuhan administratif ini menunjukkan kemajuan nyata dalam aspek akuntabilitas.
Partai Tua, Mekanisme Muda
Menjadi partai tua tidak berarti harus menjadi institusi yang kaku. Salah satu keunggulan Partai Golkar adalah absennya “saham mayoritas” politik. Tidak ada figur atau dinasti tunggal yang mengendalikan arah partai. Pemilihan ketua umum berlangsung secara terbuka melalui mekanisme merit-based competition, di mana kandidat harus membangun dukungan dari tingkat bawah dan menegosiasikan visi partai secara terbuka.
Struktur semacam ini memang tidak menjamin bebas konflik, tetapi menciptakan sistem keseimbangan internal yang relatif sehat. Dalam kajian Achmad Suhawi “Pseudo Partai Politik: Studi Perbandingan PKS, Golkar, dan PDIP” (2020), disebutkan bahwa di tengah praktik “demokrasi semu” di sejumlah partai, Golkar termasuk sedikit yang menunjukkan meritokrasi relatif kuat.
Sistem ini memungkinkan setiap kader memiliki peluang yang sama untuk menapaki jenjang kepemimpinan sepanjang ia memiliki kapasitas dan dukungan organisasi.
Dengan demikian, regenerasi menjadi lebih terukur. Kini banyak tokoh muda muncul dari basis organisasi sayap dan daerah, membawa ide baru dalam digitalisasi politik, ekonomi hijau, hingga tata kelola transparan. Golkar belajar bahwa modernitas partai tidak diukur dari usia, melainkan dari sejauh mana ia membuka ruang bagi ide-ide baru tanpa kehilangan nilai dasarnya.
Pilar Moderasi dan Pancasila
Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin terfragmentasi, Partai Golkar tetap teguh sebagai partai tengah, sebagai penjaga keseimbangan ideologis dan politik kebangsaan. Di saat beberapa partai menonjolkan identitas keagamaan atau populisme sempit, Partai Golkar konsisten menegaskan komitmennya pada Pancasila sebagai ideologi negara yang inklusif.
Nilai-nilai seperti persatuan, keadilan sosial, dan gotong royong menjadi bingkai moral yang terus dihidupkan. Ini bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan fondasi konseptual yang tetap relevan di tengah maraknya polarisasi sosial, politik identitas, dan tekanan globalisasi.
Sikap moderat inilah yang membuat Partai Golkar memiliki daya tahan politik tinggi. Dalam banyak momen kritis, partai ini berperan sebagai penyeimbang di parlemen, menjadi mitra strategis pemerintah tanpa kehilangan kemampuan mengkritisi kebijakan publik secara rasional. Moderasi politik di tengah polarisasi menjadi bentuk nyata kesaktian Pancasila dalam praksis demokrasi.
Tantangan ke Depan
Namun, usia panjang juga membawa tanggung jawab baru. Tantangan terbesar Partai Golkar di masa depan bukan lagi sekadar bertahan, tetapi berinovasi. Ada tiga agenda utama yang perlu diperkuat.
Pertama, digitalisasi politik. Generasi Z kini mencakup lebih dari 27% pemilih nasional. Pola pikir dan cara partisipasi politik mereka sangat berbeda. Golkar perlu menata ulang strategi komunikasi dan kaderisasi berbasis platform digital agar tetap relevan bagi generasi muda.
Kedua, institusionalisasi meritokrasi. Mekanisme rekrutmen dan promosi kader harus dijaga dari intervensi patronase ekonomi. Integritas proses akan menentukan legitimasi partai di mata publik.
Ketiga, penguatan ideologi kebangsaan. Di era disrupsi nilai dan informasi, partai politik dituntut bukan hanya merebut kekuasaan, tetapi juga menjadi sekolah kebangsaan. Di sinilah Partai Golkar sebagai partai berideologi Pancasila menemukan relevansi barunya.
Penutup: Investasi Politik Masa Depan
Enam dekade perjalanan sebuah partai politik adalah rentang sejarah yang amat panjang dalam ukuran demokrasi Indonesia. Pada rentang masa itu, banyak partai lahir dan hilang, namun hanya segelintir yang mampu bertahan, beradaptasi, dan tetap relevan dengan perubahan zaman. Golongan Karya, atau kini dikenal sebagai Partai Golkar, adalah salah satunya.
Partai ini telah melewati berbagai fase sejarah, dari penguatan negara pasca 1965, dominasi politik di era Orde Baru, hingga transformasi besar pasca-Reformasi 1998. Di tengah persepsi publik yang kerap terbelah antara nostalgia dan kritik, realitas menunjukkan bahwa organisasi politik ini tidak pernah berhenti berevolusi. Ia tidak lagi sekadar mesin kekuasaan, melainkan telah menjelma menjadi laboratorium politik yang terus mencari keseimbangan antara tradisi, ideologi, dan demokrasi modern.
Enam puluh satu tahun perjalanan bukan sekadar pencapaian institusional, tetapi juga refleksi atas konsistensi nilai. Partai Golkar membuktikan bahwa daya tahan politik tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari kemampuan beradaptasi.
Dari instrumen negara menjadi partai rakyat, dari partai penguasa menjadi partai demokratis, Partai Golkar telah melalui metamorfosis besar yang jarang disadari publik. Di tengah turbulensi politik global dan domestik, keberadaan partai dengan akar sejarah panjang dan struktur yang matang tetap menjadi penopang penting bagi stabilitas nasional.
Jika transformasi terus dijaga dalam meritokrasi, keterbukaan, dan komitmen terhadap Pancasila maka Partai Golkar bukan hanya warisan masa lalu, melainkan juga investasi politik masa depan Indonesia.
Dirgahayu ke-61 Partai Golkar
Oleh Tati Noviati
Sekretaris Jenderal PP KPPG