Berita Golkar – Dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ekonomi kerakyatan menjadi tulang punggung pembangunan. Di tengah ambisi pertumbuhan 8% dalam lima tahun, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ditempatkan sebagai penggerak utama.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman menegaskan, kunci visi besar itu terletak pada kemampuan negara mengenali dan memberdayakan 57 juta pelaku usaha yang selama ini bekerja dalam “ruang gelap” data dan kebijakan.
Maman menjelaskan peta jalan digitalisasi UMKM melalui platform Sapa UMKM, sistem terpadu yang akan menghubungkan kementerian dengan pelaku usaha secara langsung dan real time. Dengan basis data yang akurat, pemerintah berharap bisa beralih dari kebijakan berbasis asumsi menuju kebijakan berbasis data.
“Kalau kita punya satu database yang real dan update, kerja kita enak,” ujarnya.
Saat ditemui Katadata.co.id di kantornya, Gedung Smesco Indonesia, Jakarta Selatan, Jumat (3/10/2025), Maman juga berbicara tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebutnya sebagai katalis ekonomi baru.
Ia tak menutup mata terhadap berbagai persoalan di lapangan dan membeberkan sederet masalah yang masih membelit program tersebut. Politikus kelahiran Pontianak 45 tahun itu mengatakan, pemerintah tak akan menoleransi pelanggaran. “Satu anak keracunan saja harus jadi alarm bagi kita semua,” ujarnya.
Berikut petikan wawancara khusus Katadata dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman:
Bagaimana sektor UMKM kita bisa menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo sebesar 8% dalam lima tahun ke depan?
Konsep besar Presiden Prabowo adalah ekonomi kerakyatan. Beliau ingin mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat dari bawah—dari desa, kecamatan, hingga ke tingkat nasional. Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa Merah Putih, Kesehatan Gratis, dan Sekolah Rakyat mencerminkan arah itu.
Dalam konteks kementerian kami, fokus utamanya ada di dua program: Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih. Kalau berbicara ekonomi kerakyatan, tulang punggungnya adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMKM mencakup tiga segmen dengan karakter dan kebutuhan berbeda.
Tugas kami memastikan ketiganya mendapat dukungan, pemberdayaan, dan perlindungan yang sesuai. Kata kuncinya adalah pemetaan data. Selama menjabat, saya merasa seperti bekerja di dalam “ruang gelap”. Ada 57 juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia, tapi belum ada sistem yang mampu menghubungkan kami secara langsung.
Karena itu, langkah pertama yang saya ambil adalah membangun sistem Sapa UMKM, platform terintegrasi untuk komunikasi dan interaksi antara kementerian dan pelaku usaha. Saat ini konstruksinya sedang berjalan, dan fase pertama ditargetkan selesai pada November nanti, dengan fokus pada pemetaan dan verifikasi data.
Apakah program Sapa UMKM juga akan menggandeng pemerintah daerah? Bagaimana cara Anda agar bisa menjaring sampai ke bawah?
Pertanyaan bagus. Selain memberikan pelayanan dan perlindungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di seluruh Indonesia, kami juga ingin mengintegrasikan seluruh institusi, dari pusat, provinsi, hingga kabupaten. Pembinaan UMKM tidak bisa hanya dilakukan oleh kementerian pusat.
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, juga punya peran penting. Misalnya dalam verifikasi dana KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan pengelolaan database UMKM di wilayah mereka. Selama ini, masing-masing daerah punya datanya sendiri. Itu harus kita satukan agar tidak ada tumpang tindih.
Misalnya, satu perusahaan seperti PT Maju Terus Pantang Mundur cukup tercatat satu kali, dengan bidang usaha yang jelas dan terverifikasi. ‘Pak Maman, kenapa kok cuma itu?’ Banyak, ada lagi program-program yang lain.
Tapi, saya menganggap, kalau kita punya satu database yang real dan update, kerja kita enak. Saya enggak lagi dihadapkan pada sebuah situasi mendengar teriakan orang tapi kayak di dalam ruang gelap.
Dengan data yang semakin sinergis tadi, Anda yakin ini akan membantu juga dalam pengambilan keputusan?
Oh, iya, pasti. Ada banyak juga komunitas-komunitas. Contohnya, Komunitas Tangan di Atas, yang punya binaan 10 ribu UMKM. Terus asosiasi Inacraft. Lalu Sampoerna Retail Center (SRC), yang membina 240 ribu warung kelontong modern.
Nah, ini kan perlu kita integrasikan supaya kita bisa monitor itu semua. Kemarin ini sempat di-plesetin. Katanya tujuannya untuk memungut pajak. Jauh banget. Enggak ada hubungannya. Kami justru ingin memberikan perlindungan dan pelayanan maksimal untuk UMKM. Arahnya ke sana.
Selama sembilan bulan ini, seperti apa Anda melihat dampak MBG terhadap UMKM?
Program Makan Bergizi Gratis memiliki efek ekonomi yang luar biasa. Saat ini sudah terbentuk sekitar 10 ribu dapur umum. Setiap dapur umum menyerap 40 sampai 50 tenaga kerja dan melibatkan rata-rata 15 sampai 20 supplier UMKM.
Dampaknya, program MBG membangun ekosistem usaha baru yang menyentuh masyarakat bawah, dari tingkat kecamatan sampai ke desa. Tugas kami adalah memastikan pelibatan optimal usaha mikro dan kecil sebagai supplier dapur-dapur umum ini.
Tadi Anda menyebut SPPG didominasi usaha menengah karena modalnya Rp1-2 miliar. Dan mereka juga harus berbadan usaha. Tapi kalau untuk yang mikro dan kecil untuk bisa masuk jadi supplier MBG, apa saja syaratnya?
Kalau itu by nature saja, mekanisme business-to-business. Bagi kami, ini adalah peluang-peluang usaha yang dibuka oleh pemerintah. Contohnya, Koperasi Desa Merah Putih. Secara konsep, koperasi adalah agregator. Misalnya ada Koperasi Desa Merah Putih tematiknya koperasi susu, atau kooperasi ikan, atau koperasi peternak sapi.
Itu kan bisa dikonsolidasikan. Jadi, by nature-nya, ia akan secara alami menciptakan ekosistem-ekosistem usaha baru yang akan terbentuk di daerah. Kami juga sudah dorong agar bank-bank penyalur KUR memberikan first services kepada usaha mikro dan kecil yang memang menjadi supplier di MBG.
Produk UMKM kita bisa dibilang masih belum bisa bersaing dengan produk impor. Apa upaya Anda supaya UMKM bisa meningkatkan kualitas produk mereka?
Pertama, saya harus bilang, terutama barang-barang impor dari Cina, ini bukan hanya sekadar masalah di Indonesia saja. Di beberapa negara juga terjadi persaingan bisnis antara barang lokal dan barang-barang dari Cina. Situasi ini juga terjadi di seluruh dunia.
Tapi, kita enggak bisa tinggal diam. Saya akan bicara dengan Kementerian Perdagangan dalam waktu dekat. Misalnya untuk produk yang kira-kira kita bisa memproduksi, ya itu harus dilindungi, dari bea masuknya (impor), dari pajak masuknya, segala macam.
Jadi, jangan sampai kita sudah bisa bikin barang A, lalu kita biarkan begitu saja barang-barang yang sama datang dari luar dengan bea masuk yang sama dengan jenis produk lain. Akhirnya, secara cost produksi barang kita dengan barang impor enggak bisa bersaing.
UMKM juga sering kita temui inkonsistensi dalam kualitas mereka. Misalnya dalam program MBG, bagaimana supaya mereka bisa menjaga produknya higienis. Apakah dari Kementerian UMKM ada upaya membantu mereka soal ini?
Yang pasti kita wajib support agar mereka bisa menjaga kualitas produknya. Tapi di balik itu semua saya tetap ingin ada satu prinsip yang enggak boleh kita abaikan. Yaitu prinsip fair play. Saya rasa harus ada mekanisme reward dan punishment.
Maksud saya, jangan sampai juga mereka akhirnya dilindungi terlalu berlebihan tapi akhirnya jadi over confidence. Jadi seakan-akan bisa bertindak sesuka-sukanya mereka. Jadi kalau ada dapur umum yang secara kualitas operasional dan produksinya enggak bagus, diterminasi saja.
Karena pada akhirnya, anak-anak kita, masyarakat dan publik berhak mendapatkan pelayanan yang terbaik. Dan, saya yakin, kalau misal ada satu yang bandel, masih ada kok dua atau tiga yang lainnya yang siap untuk meng-handle.
Karena saya yakin banyak (yang minat masuk ke MBG). Begini. Yang menyebabkan daya serap anggaran MBG tidak maksimal karena banyak sekali oknum-oknum yang bermain memanfaatkan mekanisme sistem yang dibuat oleh BGN.
Contohnya, kalau ingin menjadi mitra BGN dan membuka dapur umum, pendaftarannya dilakukan secara online. Setelah menyiapkan administrasi, mereka bisa mendapatkan titik. Karena sistem yang dibuat BGN praktis dan mudah dijalankan, banyak yang tergiur. Sudah punya satu titik, mereka buat lagi titik kedua. Lalu saat titik pertama dan kedua belum dibangun, mereka daftar lagi untuk titik ketiga.
Akhirnya sistem jadi terbebani, dan orang-orang yang serius mau buka dapur umum, yang punya modal dan kesiapan, tidak mendapat kesempatan. Hal-hal seperti ini harus ditertibkan. Dampaknya, karena punya tiga atau empat titik lain, pengelolaannya jadi tidak optimal karena mereka pada dasarnya ternyata tidak sanggup.
Produksi makanan menurun kualitasnya, dan lain sebagainya. Kasus seperti ini harus ditindak tegas. Jadi, kita akan tetap memberikan dukungan berupa pembinaan dan pelatihan, tetapi objektivitas harus dijaga. Bagi pengusaha dapur umum yang nakal, tidak boleh ada toleransi. Saya pikir itu.
Dari BGN juga ada dorongan untuk dapur MBG ini melakukan sertifikasi. Nah, apakah dari Kementerian UMKM juga akan membantu untuk proses pengajuan sertifikasinya?
Kementerian UMKM akan tetap mendorong penerapan sertifikasi higienitas, seperti HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Namun, penting untuk menentukan standar yang tepat dan proporsional. Ke depan, kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan BGN untuk membuat klasifikasi yang jelas mengenai kriteria dan level sertifikasi higienitas agar tidak menghambat operasional dapur umum.
Kami juga mendorong BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) untuk mempercepat dan mempermudah sertifikasi halal bagi pelaku UMKM. Selain itu, kami juga mendorong pengurusan izin PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) bagi usaha makanan.
Semua upaya ini dilakukan untuk menjaga kualitas dan keamanan produk dalam program Makan Bergizi Gratis tanpa mengganggu operasional di lapangan.
Tadi Anda sudah menyebut soal peran UMKM dalam Koperasi Desa Merah Putih. Bagaimana Anda melihat KDMP dalam hal ini?
Secara filosofi, koperasi adalah model ekonomi kerakyatan yang menjadi penyeimbang dari dominasi konglomerasi. Kalau konglomerasi berorientasi pada kapital, koperasi justru berakar pada semangat sosial dan gotong royong. Secara institusional, koperasi berfungsi sebagai agregator: mengonsolidasikan kekuatan ekonomi masyarakat kecil, termasuk UMKM.
Karena itu, kehadiran Koperasi Desa Merah Putih akan sangat menguntungkan bagi sektor UMKM. Koperasi ini bisa mengelompokkan UMKM sesuai klaster dan potensi daerah masing-masing. Misalnya, ada Koperasi Desa Merah Putih yang fokus pada produksi susu, peternakan sapi limosin, atau sektor lain yang sesuai dengan sumber daya lokal.
Langkah ini sudah mulai kita bicarakan dengan Kementerian Koperasi, dan akan kita dorong agar berjalan selaras dengan penguatan ekonomi kerakyatan di tingkat desa.
Menurut Anda, apa tantangan terbesar yang dihadapi UMKM Indonesia saat ini?
Yang pertama tentu soal data dan integrasi. UMKM ini ibarat anak-anak kita yang tersebar di seluruh Indonesia, tulang punggung ekonomi negara yang selalu menjadi penopang saat krisis. Saat usaha besar tumbang, justru usaha mikro yang mampu bertahan.
Mereka menyumbang sekitar 55–60 persen terhadap PDB dan menyerap hingga 90 persen tenaga kerja. Namun, di balik kekuatannya itu, UMKM sangat rentan. Seperti lilin yang menerangi, tapi mudah padam ketika ada angin kencang.
Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk menjaga ketahanan mereka. Masalahnya, hingga kini pemerintah belum memiliki sistem yang benar-benar terintegrasi untuk berinteraksi dan melindungi UMKM. Kita belum punya pola, alat, dan tools yang efektif.
Itu sebabnya kami sedang membangun sistem Sapa UMKM sebagai fondasi awal. Setelah data dan pemetaan terbentuk, barulah kita bisa memperbaiki akses pembiayaan, pemasaran, dan perlindungan hukum. Karena tanpa dasar yang kuat, semua kebijakan hanya akan jadi wacana.
Selain itu, tantangan lain ada pada praktik pungutan liar di daerah, keterbatasan literasi keuangan, dan lemahnya manajemen usaha. Banyak pelaku mikro yang berusaha bukan karena pilihan, tapi karena kebutuhan hidup setelah kehilangan pekerjaan. Maka, jumlah UMKM yang besar belum tentu berarti kondisi ekonomi rakyat membaik.
Inilah kompleksitas yang harus dihadapi: membangun sistem, memberantas pungli, memperkuat literasi, dan memastikan UMKM tumbuh bukan sekadar bertahan. {}













