Berita Golkar – Mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia periode 2001–2009, Dr. Hassan Wirajuda, menyampaikan pandangan mendalam tentang dinamika tatanan dunia dan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia di era Presiden Prabowo Subianto. Pandangan tersebut ia sampaikan dalam forum Seri Diskusi XI Balitbang Partai Golkar yang mengangkat tema, “Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Era Presiden Prabowo Subianto di Tengah Perubahan Geo-Politik dan Ekonomi Global.”
Hassan Wirajuda menilai, dunia kini berada dalam masa melemahnya tatanan global (world order) yang selama ini menopang stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi internasional. “Tatanan dunia sedang melemah. Dewan Keamanan PBB yang sejatinya diberi mandat untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, justru lumpuh oleh perpecahan di antara para anggotanya sendiri,” ungkap Hassan.
Ia mengingatkan, harapan akan reformasi Dewan Keamanan PBB yang sudah diupayakan sejak 1975 kini hampir mustahil terwujud. “Pada awal 2000-an, saya sudah melihat bahwa reformasi tatanan dunia, khususnya bidang politik keamanan, sudah kehilangan harapan. Upaya menambah keanggotaan atau membatasi hak veto sulit dilakukan karena kepentingan negara-negara besar terlalu kuat,” ujarnya.
Menurut Hassan, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar dalam tatanan dunia selalu didahului oleh krisis atau perang besar. “Perang Dunia I dan II mengubah struktur global secara drastis. Pertanyaannya, apakah perubahan berikutnya hanya bisa terjadi melalui perang dunia ketiga?” katanya.
Namun, Hassan menegaskan, ancaman perang global saat ini justru tertahan bukan karena stabilitas tatanan dunia, tetapi karena ketakutan bersama terhadap kehancuran akibat senjata nuklir. “Sekarang dunia selamat bukan karena sistem yang baik, tapi karena ketakutan terhadap senjata nuklir. Ada sekitar 16 ribu senjata nuklir di dunia, dan kalau perang dunia ketiga terjadi, manusia dan peradabannya bisa musnah,” tegasnya.
Hassan mengingatkan bahwa status quo ini membuat dunia stagnan dan sulit berubah, sementara konflik-konflik regional justru terus bermunculan. “Perang skala kecil hingga sedang terjadi di berbagai tempat seperti Ukraina, Yaman, Palestina, Mali, dan lainnya. Semua menimbulkan kehancuran sporadis yang merugikan manusia,” ujarnya.
Dalam konteks regional, Hassan memuji stabilitas kawasan Asia Tenggara sebagai salah satu contoh sukses kerja sama multilateral. “Kita patut bersyukur karena sejak ASEAN dibentuk pada 1967, kawasan kita relatif aman dan damai. Tidak ada perang antarnegara, dan energi kita bisa difokuskan untuk pembangunan ekonomi,” jelasnya.
Ia menambahkan, stabilitas tersebut menjadi faktor penting yang membawa ASEAN tumbuh menjadi kekuatan ekonomi ke-5 terbesar di dunia. Namun, di sisi lain, muncul pula dinamika baru akibat persaingan dua kekuatan besar dunia. “China kini menjadi kekuatan ekonomi dan militer besar, bahkan telah menggeser Jepang sejak tahun 2000-an. Amerika Serikat melihat hal ini sebagai ancaman, sehingga lahirlah trade war yang menjalar ke ranah militer, teknologi, dan energi,” papar Hassan.
Di tengah kondisi dunia yang penuh ketidakpastian itu, Hassan Wirajuda menilai Indonesia perlu merumuskan politik luar negeri yang lebih adaptif, berdaulat, dan berpihak pada kepentingan nasional. “Kita harus menjaga posisi Indonesia tetap bebas aktif, tapi juga proaktif membangun perdamaian dan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan,” tuturnya menutup pandangan.













