Penolakan FCTC Menguat, Misbakhun: Ini Pertarungan Kepentingan Nasional vs Agenda Asing

Berita Golkar – Penolakan terhadap intervensi asing dalam kebijakan industri hasil tembakau (IHT) nasional semakin menguat.

Sejumlah tokoh masyarakat dan wakil rakyat menyoroti masuknya agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) secara terselubung dalam regulasi yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), termasuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan rancangan aturan turunannya.

Penerapan FCTC dinilai berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap jutaan pekerja, petani tembakau, serta pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia. Isu ini pun menjadi sorotan di parlemen.

Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun, menegaskan bahwa isu tembakau merupakan pertarungan antara kepentingan nasional dan agenda asing. Ia menyayangkan sikap sebagian pihak yang kerap menyangkal keberadaan IHT, padahal sektor ini memiliki nilai ekonomi dan kepentingan nasional yang signifikan.

“Kita harus hati-hati terhadap agenda global yang bisa memastikan industri padat karya ini,” ujar Misbakhun, dikutip dari WartaEkonomi.

Senada dengan itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Saleh Husin, menekankan kontribusi besar IHT terhadap perekonomian nasional. Menurutnya, industri ini menyerap hampir 6 juta tenaga kerja dan menyumbang penerimaan negara melalui cukai sebesar Rp216 triliun pada tahun 2024.

“Industri hasil tembakau bukan hanya sebagai sumber pendapatan, namun juga menjadi penopang kehidupan jutaan keluarga Indonesia. Karenanya, arah regulasi harus proporsional, bukan menekan,” imbuh Saleh.

Penolakan terhadap FCTC juga datang dari kalangan media. Jurnalis senior Tempo, Bambang Harymurti, mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian internasional, Indonesia termasuk dalam empat negara yang dikecualikan dari penerapan FCTC karena kontribusi ekonominya yang signifikan.

“Dalam framework WHO itu disebutkan tidak berlaku bagi empat negara, salah satunya Indonesia. Jika begitu, mengapa kita harus menandatangani perjanjian yang justru tidak relevan dengan kondisi kita?” tutur Bambang.

Ia menambahkan bahwa kondisi sosial dan ekonomi Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang tidak memiliki industri hasil tembakau. Oleh karena itu, Indonesia memiliki hak untuk menolak FCTC tanpa harus dianggap menentang konsensus global.

“Rokok bukanlah barang ilegal, sehingga pendekatan regulasi seharusnya tidak bertujuan untuk mematikan industrinya,” pungkas Bambang. {}