Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menilai polemik impor 250 ton beras di Sabang seharusnya tidak berkembang menjadi perdebatan panjang apabila para pejabat pusat dan daerah memahami dengan cermat regulasi yang berlaku. Menurutnya, persoalan yang muncul bukan hanya perbedaan pendapat, tetapi akibat dari kurangnya kajian sebelum membuat pernyataan publik.
Dalam konteks tersebut, Firman menegaskan bahwa setiap pejabat publik memegang tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian menjadi hal mutlak.
“Kesalahpahaman antar pejabat itu sebenarnya bisa dihindari kalau semua pihak lebih teliti, tidak emosional, dan benar-benar memahami otoritas yang berlaku. Jadi sebelum bicara, pahami dulu regulasinya. Cek dan ricek itu wajib dilakukan agar publik tidak menerima informasi yang keliru,” tutur Firman Soebagyo.
Firman menjelaskan bahwa BPKS (Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang) memiliki legitimasi tersendiri dalam mengatur kawasan Sabang. Kewenangan ini bersumber dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang memberikan kekhususan terhadap sektor ekonomi, termasuk kebijakan impor tertentu untuk kebutuhan masyarakat setempat.
Karena itu, ia menilai pernyataan yang menyebut impor beras tersebut “ilegal” seharusnya ditinjau ulang terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kerangka hukum yang berlaku. “Aceh memiliki kewenangan khusus. Ini bukan hal yang baru. Maka setiap penilaian terhadap kebijakan di Sabang harus merujuk pada regulasi Aceh, bukan asumsi,” jelas politisi senior Partai Golkar ini.
Sebelumnya, polemik ini mencuat setelah Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mempertanyakan impor beras 250 ton yang dianggap tidak memiliki izin dari pemerintah pusat.
Pernyataan tersebut memantik reaksi dari Pemerintah Aceh, yang menegaskan bahwa BPKS tidak bertindak sembarangan karena kebijakan tersebut memiliki dasar hukum dan dilakukan demi menjawab tingginya harga beras di Sabang bila pasokan hanya mengandalkan pengiriman dari daratan.
Pemerintah Aceh juga meminta Kementerian Pertanian untuk melakukan uji laboratorium atas kualitas beras tersebut sekaligus melihat kembali aspek regulasi sebelum mengambil kesimpulan hukum.
Hindari Konflik Pusat-Daerah
Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menjelaskan bahwa persoalan seperti ini berpotensi memunculkan dampak negatif apabila komunikasi antara pusat dan daerah tidak terjalin dengan baik. Menurutnya, konflik kecil bisa berkembang menjadi isu nasional jika tidak disikapi dengan tenang dan berdasarkan data.
“Pejabat itu harus bisa menahan diri. Jangan membuat pernyataan yang justru memancing polemik baru. Masyarakat membutuhkan kepastian, bukan debat yang membingungkan,” tegasnya.
Ia berharap kejadian ini menjadi evaluasi bersama. Dengan memahami aturan, memverifikasi informasi, dan tidak terburu-buru mengomentari isu yang belum jelas, koordinasi antar lembaga akan jauh lebih efektif.
“Kalau semua pihak berpegang pada data dan kewenangan yang ada, polemik seperti ini tidak akan muncul lagi. Yang penting adalah memberikan informasi yang jernih dan akurat kepada publik,” tutup Firman.













