Berita Golkar – Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat masih belum bergerak sesuai target. Pada triwulan III 2025, ekonomi Jabar hanya tumbuh 5,14 persen, lebih rendah dari target 5,20 persen.
Wakil Gubernur Jawa Barat (Wagub Jabar) Erwan Setiawan mengakui kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Ia menyebut salah satu penyebabnya adalah minimnya keterbukaan data dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jawa Barat.
“Di Jabar ada 59 kawasan industri dan lebih dari 10 ribu perusahaan. Tapi banyak data yang tidak terbuka. Tanpa keterbukaan itu, kami tidak bisa membaca kondisi ekonomi yang sebenarnya,” kata Erwin ditemui dalam konferensi pers High Level Meeting TPID & TP2DD Jawa Barat di Garut, Selasa (9/12/2025).
Menurutnya, kurangnya pelaporan data tersebut membuat pemerintah kesulitan memetakan pergerakan ekonomi, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Ia telah meminta para kepala daerah untuk mendorong para pengusaha di wilayahnya lebih transparan.
Pemprov Jabar pun tetap optimistis bisa mengejar pertumbuhan lebi tinggi pada triwulan IV. “Harapannya triwulan IV bisa 5,20 persen,” ujarnya, dikutip dari JPNN.
Dari sisi inflasi, Jawa Barat juga masih menghadapi tekanan.
Plh. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jawa Barat Muslimin Anwar mengungkapkan, bahwa sepanjang Januari – November, Jabar mengalami inflasi sebanyak tujuh kali.
Beberapa komoditas pemicu inflasi di kelompok pangan bergejolak adalah cabai merah, beras, dan minyak goreng. Sementara dari sisi harga yang diatur pemerintah, rencana penyesuaian tarif–termasuk PDAM–masih harus dihitung secara cermat agar tidak menambah tekanan inflasi.
“Beberapa daerah inflasinya year-to-date sudah di atas 2,5 persen. Ini jadi perhatian dalam penilaian TPID pusat,” kata Muslimin.
Selain itu, struktur ekonomi Jabar juga menghadapi masalah jangka panjang. Kontribusi sektor pertanian yang menjadi penopang pangan terus menurun drastis dari sekitar 9 persen hingga kini tinggal sekitar 3,4 persen.
Margin perdagangan dan pengangkutan untuk komoditas seperti beras dan bawang merah juga masih tinggi, membuat harga di tingkat konsumen sulit turun.
Meski produksi padi mencapai 5,91 jua ton, naik 18,64 persen dibanding 2024, harga beras tetap bertahan di atas HET. Salah satu penyebabnya adalah penyaluran beras SPHP yang baru terealisasi 24,67 persen per 17 November. “Ini akan kami percepat bersama pemerintah daerah,” pungkasnya. {}













