Yahya Zaini Nilai Dasar Penetapan UMP 2026 Sudah Jelas dan Lebih Berkeadilan

Berita GolkarKomisi IX DPR menilai, Pemerintah Pusat (Pempus) telah memiliki dasar yang jelas dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026.

Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan pada 16 Desember 2025. Aturan ini membuka ruang kenaikan upah minimum yang dinilai lebih adil dan relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini menilai rumus pengupahan yang ditetapkan pemerintah sudah tepat, lantaran mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan adanya aturan tersebut, penetapan UMP 2026, kini menjadi kewenangan masing -masing gubernur.

“Kenaikan UMP 2026 dapat lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Setidaknya, besaran kenaikan tidak lebih rendah dari UMP 2025,” harap Yahya dalam keterangannya, Kamis (18/12/2025), dikutip dari RakyatMerdeka.

Diketahui, dalam skema UMP 2026, kenaikan upah ditentukan melalui formula inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alpha) dengan rentang alpha 0,5–0,9. Jumlah itu lebih tinggi dibanding formula lama yang hanya menggunakan rentang Alfa 0,1 hingga 0,3.

Selain itu, besaran kenaikan UMP juga ditetapkan oleh masing -masing kepala daerah dengan ketentuan yang sama, yakni inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alpha). Yahya melanjutkan, sekurang -kurangnya kenaikan sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,5 persen.

“Aspirasi kaum pekerja harus diperhatikan dalam menetapkan UMP di daerah,” saran politikus Golkar ini.

Yahya menambahkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan batas waktu penetapan UMP selambat-lambatnya tanggal 24 Desember 2025, sudah diumumkan.

Karena waktunya sempit, ini memerlukan gerak cepat dari Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membahas bersama Dewan Pengupahan Daerah (DPD).

Selain itu, Yahya berencana memasukkan skema UMP 2026 dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (revisi UU Ketenagakerjaan).

Langkah tersebut diambil karena penetapan UMP kerap menjadi persoalan tahunan yang memicu tarik-menarik kepentingan antara buruh dan pengusaha. “Kami berharap ada formula baku dalam penetapan UMP,” harapnya.

Yahya berharap, revisi UU Ketenagakerjaan dapat menghadirkan kebijakan pengupahan yang mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik pekerja maupun pelaku usaha.

Jika revisi UU Ketenagakerjaan disahkan, kata dia, skema UMP tidak lagi mengalami perubahan setiap tahun. Pemerintah nantinya hanya menyesuaikan besaran upah berdasarkan formula tetap yang telah ditetapkan dalam regulasi.

Namun demikian, ia mengaku belum dapat memastikan target waktu pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan. Memang saat ini, revisi tersebut telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2026, tetapi pembahasannya belum memasuki tahap substansial.

“Sekarang masih mengundang narasumber dari berbagai profesi dan belum masuk ke pembahasan daftar inventaris masalah (DIM). Kami masih menunggu DIM dari pemerintah,” tutup Yahya. {}