Serap Aspirasi Warga Papua Barat Daya, Robert J. Kardinal Paparkan Sistem Demokrasi Pancasila

Berita Golkar – Anggota DPR RI Fraksi Golkar Robert Joppy Kardinal menggelar Sosialisasi Penyerapan Aspirasi Masyarakat Papua Barat Daya (PBD). Penyerapan aspirasi itu digelar dengan tema Sistem Demokrasi Pancasila kepada  Mahasiswa dan masyarakat di kota Sorong.

Acara atau kegiatan tersebut untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas. Termasuk mahasiswa tentang sistem demokrasi di Indonesia yang yang dilandasi  Pancasila. UUD 45.

Demokrasi sendiri adalah bentuk pemerintahan yang meletakkan kekuasaan negara tertinggi di tangan rakyat. Itu diformulasikan melalui sistem perwakilan dalam peradaban modern.

Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila yang berideologi. Yakni pandangan hidup, dasar negara dan sistem filsafat negara bangsa Indonesia  memuat Ketuhanan. Kemanusiaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Ciri-ciri demokrasi Pancasila di antaranya adalah kedaulatan berada penuh di tangan rakyat. Dalam menjalankan pemerintahan harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku. “Lalu adanya pesta demokrasi pemilu yang dilakukan jujur, adil, dan bebas,” kata Kardinal.

Penerapan demokrasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya agar tidak terjadi perpecahan yang dapat merugikan negara. Dalam pandangannya, Pancasila memainkan peran penting dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Serta dalam menyelesaikan masalah nasional melalui proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan.

“Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan didasarkan pada ketuhanan serta kemanusiaan yang adil dan beradab,” ujarnya.

Setiap pengambilan keputusan menggunakan cara musyawarah, menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Termasuk mendahulukan kepentingan rakyat serta tidak menggunakan sistem partai tunggal.

“Sistem demokrasi Pancasila harus kita jaga dan pertahankan sebagai bentuk ikhtiar dalam membangun bangsa dan negara,” kata Kardinal.

Paham demokrasi yang dianut di Indonesia sendiri mengalami beberapa fase. Dimulai sejak demokrasi parlementer awal Indonesia merdeka hingga tahun 1959.

Demokrasi terpimpin yang sebagimana dikemukakan A. Syafi’i Ma’arif, menempatkan Soekarno sebagai “ayah” bagi Indonesia dengan kekuasaan yang terpusat di tangannya. Perkembangan demokrasi di Indonesia berlanjut pada fase demokrasi pancasila “versi orde baru.

Menurut M. Rusli Karim demokrasi pada rezim orde baru ini ditandai dengan dominannya peran ABRI. Birokratisasi serta sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran fungsi partai politik.

Lalu campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik. Inkorporasi lembaga non-pemerintah, hingga monolitisasi ideologi negara. Selanjutnya pencarian dan penjabaran dari demokrasi Indonesia masuk pada fase era reformasi hingga saat ini.

Meskipun sama-sama bertitel “Demokrasi Pancasila” terdapat perbedaan besar antara orde baru dan reformasi. Banyak sekali “batasan” dalam pelaksanaan demokrasi pancasila era orde baru.

Oleh sebab itu lebih dikenal dengan sebutan demokrasi perwakilan. Sedangkan dalam era reformasi justru ditemukan “kebebasan”, sehingga disebut sebagai demokrasi langsung.

Pada era reformasi mulai dilaksanakan pemilihan langsung baik. Ini untuk memilih anggota DPR baik pusat maupun daerah, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan sampai pada pemilihan kepala daerah langsung.

Ini mustahil ditemukan pada era orde baru. Inilah terobosan baru atas rumusan demokratisasi di Indonesia. Namun apakah ini akhir dari pencarian jati diri demokrasi Pancasila di Indonesia?.

Kearifan Lokal Papua

Anggota Komisi X DPR RI mengutip hasil penelitian  Haryanto dan Wigne Caori (UGM) terkait sistem demokrasi di suku Moi daerah Kepala Burung Papua Barat Daya.

Meski pun berbeda namun ternyata sistem demokrasi di Suku Moi Papua sudah berjalan jauh sebelum Indonesia Merdeka. Sistem demokrasi yang bergulir di tanah Papua, khususnya di wilayah kepala burung Pulau Papua. Terutama di Sorong, sedikit berbeda dari sistem demokrasi liberal.

Hal ini diungkapkan oleh peneliti sekaligus dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, Haryanto, dan Wigne Capri Arti.

Itu digelar dalam acara ‘Polgov Talk’ yang disiarkan melalui kanal Youtube Department of Politics and Government – Universitas Gadjah Mada, pada Senin, (16/8)

Haryanto menjelaskan bahwa demokrasi yang berlangsung di wilayah Sorong tersebut dijalankan dengan mekanisme keterwakilan yaitu para kepala suku atau kepada Keret (sub-suku) lah yang mewakili warganya dalam panggung demokrasi.

Dalam proses pengambilan keputusan bersama dalam kehidupan atau pemerintahan, biasanya mereka mengambil (keputusan) secara musyawarah. Tetapi, musyawarah itu belum tentu berhasil, kadang-kadang alot.

Ini yang menjadi suatu persoalan kalau musyawarah tadi itu menemui deadlock (jalan buntu), maka keputusan bersama tidak bisa diambil. Oleh karena itu mereka anggota-anggota masyarakat (lalu) menyerahkan keputusan kepada pimpinannya,” ungkap Haryanto.

Ada Jaminan Kualitas Demokrasi

 

Tentu, dengan mengetahui sistem demokrasi seperti itu, para kepala Keret. Atau para wakil yang mengambil keputusan untuk warganya. Tampak mempunyai kuasa sewenang-wenang (otoriter).

Namun, Haryanto mengungkapkan berdasarkan hasil penelitiannya bersama kolega bahwa hal tersebut tidak dilakukan. “Ada potensi untuk dia bertindak (mengambil keputusan) sesuai keinginan dia pribadi (Kepala Keret), tapi hal ini tidak dilakukan,” tegas Haryanto.

Haryanto mengungkapkan bahwa ternyata ada keberadaan ‘nilai’ dalam masyarakat yang menjaga dari terjadinya otoritarian tersebut (penguasa yang sewenang-wenang). Nilai tersebutlah yang kemudian diketahui menjadi control dan menciptakan trust atau kepercayaan antara Kepala Keret dan warganya (Penelitian UGM).

Robert Joppy Kardinal menjelaskan sistem demokrasi di Papua sudah terjadi secara turun temurun. Peserta yang hadir pada acara sosialisasi yang digelar Anggota DPR RI Robert  Kardinal itu sangat menikmatinya. Terbukti setiap session peserta  selalu mengajukan pertanyaan terkait Pancasila UUD 1945.

Pemateri Robert Joppy Kardinal, SAB selalu menjawab dengan tepat pertanyaan peserta. Peserta akhirnya mengaku puas karena mendapat materi tentang Pancasila UUD 45 yang disampaikan Robert Joppy Kardinal itu. {sumber}