Berita Golkar – Harga minyak sawit berpotensi meningkat tahun depan. Hal itu terjadi karena produksi crude palm oil (CPO) menurun akibat kemarau panjang. Sementara, permintaan komoditas tersebut meningkat.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) kembali menyelenggarakan 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC 2023) pada 1-3 November 2023 di Bali International Convention Center, Westin Resort, Nusa Dua Bali. Konferensi tahun ini mengusung tema, Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berharap, melalui IPOC, pelaku usaha kelapa sawit bisa menemukan strategi untuk merespons isu-isu global seperti menghadapi krisis pangan dan berlanjutnya pelambatan pertumbuhan ekonomi. Sebab, industri sawit memberikan dampak positif untuk perekonomian.
“Industri sawit bisa menciptakan pekerjaan produktif, kesempatan kerja, keamanan pangan, keamanan energi dan penyediaan barang konsumsi dan mengurangi kemiskinan di tingkat petani yang sangat relevan dengan Sustainable Deveopment Goals (SDGs),” papar Airlangga saat memberikan sambutan secara virtual, kemarin.
Sementara, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengungkapkan, saat ini, industri kelapa sawit sedang dihadapkan pada tantangan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya inflasi yang dialami oleh sepertiga negara di dunia.
“Kami melihat ketidakstabilan harga minyak sawit dan produktivitas yang stagnan. Faktor-faktor tersebut mengindikasikan ketidakpastian perdagangan global, sehingga ketahanan dunia usaha perlu ditingkatkan,” kata Eddy.
Dia melanjutkan, pengusaha sawit memahami bahwa perang antara Rusia dan Ukraina mempunyai dampak besar. Dan berpotensi memberi dampak jangka panjang terhadap pasokan pangan dan energi global, serta harga-harga di seluruh dunia.
“Jika kita gabungkan hal ini dalam konteks global Rusia dan Ukraina, tanpa memperhitungkan biaya pupuk dan produk berbasis pupuk, kita akan melihat bencana besar segera terjadi,” ujarnya.
Ancaman krisis pangan, energi dan hambatan perdagangan, lanjut Eddy, menambah ketidakpastian semakin besar. Ketidakpastian itu salah satunya aturan deforestasi Uni Eropa (EUDR)
Menyikapi kondisi tersebut, pengusaha sawit berharap Pemerintah dapat mengambil langkah yang bijaksana untuk menjaga daya saing sawit Indonesia dan industri minyak sawit dengan memperkuat produksi minyak sawit berkelanjutan.
“Dan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif. Karena hambatan perdagangan apa pun yang kita hadapi akan menambah biaya dan beban bagi industri,” harap Eddy.
Dia menyampaikan, ada potensi kenaikan harga CPO atau minyak sawit mentah tahun depan. Hal ini terjadi karena turunnya produksi kelapa sawit Indonesia akibat El Nino.
“Penurunan sudah kelihatan dari produksi hingga pertengahan tahun ini. Produksi minyak sawit hanya mencapai 36,3 juta ton per Agustus 2023. Dari volume tersebut, ekspor produksi sawit, biodiesel dan oleochemical mencapai 23,4 juta ton,” kata Eddy.
Selain El Nino, ia mengungkapkan, progres penanaman ulang (replanting) kelapa sawit mengalami perlambatan, terutama di lahan petani kecil. Sementara itu, permintaan akan terus meningkat seiring komitmen Pemerintah untuk menerapkan B35 dan pertumbuhan konsumsi masyarakat, baik sektor makanan maupun industri.
“Stok kelapa sawit Indonesia ke depan akan rendah. Alhasil, ini akan menaikkan harga minyak sawit tahun depan. Sementara tahun ini, harga minyak sawit turun drastis di pasar,” ujar Eddy. {sumber}