Berita Golkar – Komisi VIII DPR RI mendorong kolaborasi antar lintas kementerian/lembaga, termasuk aparat penegak hukum, guna penanganan kasus perundungan atau bullying yang marak terjadi di Indonesia. Selain itu, pendampingan psikologis bagi para korban bullying juga harus disediakan di setiap sekolah.
“Memang penanganannya (bullying) harus antar sektor. Tidak bisa dilakukan secara parsial. Selama ini kan sebetulnya di masing-masing instansi memiliki institusi yang bertanggung jawab dalam perlindungan terhadap anak,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily, dalam keterangan pers, Senin (6/11/2023).
Kasus bullying terbaru yang membuat miris ialah saat seorang siswa kelas 6 Sekolah Dasar (SD) berinisial F (12) di Bekasi di-bully teman sekolah hingga berujung kakinya diamputasi. Kejadian berawal saat korban hendak membeli makan ke kantin, namun tiba-tiba dijegal oleh teman satu sekolahnya. Usai tersungkur, korban malah mendapat perundungan lainnya.
Akibat perundungan pada Februari 2023 itu, kaki F mengalami cedera dan infeksi. Kondisi kaki F kemudian memburuk dan ia didiagnosa mengalami kanker tulang di mana hal tersebut diduga terjadi dipicu karena luka akibat bullying dari teman-temannya. Kaki F akhirnya diamputasi.
Ace menyayangkan kejadian perundungan yang dialami F. Ia menyebut masalah bullying di Indonesia sudah seperti fenomena gunung es yang belum juga ada titik perbaikan. “Atas kasus perundungan di Bekasi ini, tentu kami sangat prihatin. Kasus seperti ini seperti gunung es, tampak sedikit di permukaan padahal sudah menjadi fenomena dalam kehidupan anak-anak kita,” ujar Ace.
Ditambahkannya, kejadian di Bekasi menambah catatan bahwa perundungan bisa berdampak fisik yang serius pada seorang anak. Padahal, kata Ace, seharusnya anak merasa aman di sekolah yang merupakan sarana pendidikan dan wadah bagi pertumbuhan bagi anak.
“Kita harus memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan sesuai hukum dan pihak sekolah menjadi pihak yang sangat bertanggung jawab agar tidak terjadi kejadian perundungan meskipun dengan maksud bercanda,” tuturnya.
Selain itu, Ace menekankan pentingnya akses pelayanan medis dan rehabilitasi bagi korban perundungan. Menurutnya, kehilangan salah satu kaki adalah dampak fisik yang sangat serius, dan korban perlu mendapatkan perawatan yang tepat untuk pemulihan fisiknya.
“Selain perawatan fisik, pendampingan psikologis juga sangat penting. Trauma yang dialami F akan berdampak pada kesejahteraan mentalnya,” tegas Ace.
Komisi VIII DPR RI yang salah satu ruang lingkup tugas bidangnya terkait perlindungan anak ini menilai, kasus di Bekasi bisa menjadi kesempatan untuk mengevaluasi kebijakan terkait dengan penanganan kekerasan atau perundungan. Ace mengatakan, harus ada SOP yang jelas dari sekolah dalam menangani kasus bullying.
“Pemerintah harus memastikan bahwa sekolah memiliki prosedur dan peraturan yang memadai untuk mencegah dan menangani kekerasan di antara siswa,” tegasnya.
Oleh karena itu, Ace mendorong Pemerintah membentuk Satgas Anti-Bullying guna meminimalisir kasus perundungan, khususnya yang melibatkan anak sekolah. Sebab penanganan kasus bullying, terutama yang punya efek besar, berkaitan dengan banyak sektor.
Mulai dari sektor pendidikan, kesehatan fisik dan mental, perlindungan anak, trauma healing, perkembangan karakter anak, pengawasan dari sisi regulasi, hingga penegakan hukum.
“Masalah bullying saling berkaitan antara satu hal dengan hal yang lain. Termasuk bagaimana peran keluarga dan lingkungan juga sangat berpengaruh. Seperti yang saya sampaikan, tidak bisa parsial. Harus ada penanganan menyeluruh,” jelas Ace.
Satgas Anti-Bullying pun disebut dapat melibatkan berbagai perwakilan instansi, termasuk dari pihak sekolah. Ace mengatakan, satgas ini juga bisa bertugas memberikan sosialisasi dan pengawasan demi mencegah terjadinya bullying pada anak.
“Karena perundungan di antara anak-anak harus dicegah sedini mungkin dengan berbagai pendekatan, termasuk bagaimana tindakan terbaik yang harus diambil karena korban dan pelaku sama-sama anak. Harus ada treatment khusus,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Barat II tersebut.
Menurut Ace, Satgas Anti-Bullying juga dapat mengakomodir disediakannya tenaga konseling pendampingan bagi para korban dan pelaku perundungan. Sebab korban bullying cenderung akan mengalami gangguan mental dan psikologis, sementara pelaku juga memerlukan penanganan agar tidak mengulangi kesalahannya.
“Bagi korban perundungan, harus berikan pendampingan secara psikologis agar tidak mengganggu kepercayaan diri korban,” sebut Ace.
“Dan untuk pelaku perundungan yang juga sesama anak, tentu harus diberikan pembinaan agar peristiwa perundungan itu tidak terulang kembali,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ace menilai pendidikan tentang anti-kekerasan dan perundungan harus diajarkan kepada anak sejak usia dini. Dengan adanya Satgas Anti-Bullying, ia berharap pendidikan tersebut dipastikan bisa masuk ke sekolah-sekolah.
“Pemahaman anti-perundungan harus diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini. Kesadaran ini merupakan sikap lebih lanjut dari perilaku saling menghormati, menghargai dan menyayangi antara sesama manusia,” papar Ace.
“Sebab penting sekali kesadaran dan mentalitas tentang anti kekerasan yang harus ditanamkan kepada anak-anak, termasuk soal anti-perundungan yang harus diberikan pemahaman kepada anak-anak,” lanjutnya.
Tak hanya di sekolah, Ace mengatakan pendidikan soal anti-bullying juga harus diajarkan di setiap lini kehidupan anak. Termasuk lingkungan keluarga dan agama yang sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
“Di dalam lingkungan keluarga, sosial, agama dan sekolah harus diciptakan ekosistem yang ramah anak. Lingkungan tidak boleh mendorong suasana yang dapat menimbulkan perundungan di antara mereka,” pungkas Ace. {sumber}