Berita Golkar – Kasus perundungan atau bullying di lingkungan pendidikan marak terjadi belakangan ini. Melihat kondisi ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menyuarakan dengan lantang agar setiap satuan pendidikan menerapkan zero tolerance policy terhadap perundungan dan kekerasan di sekolah.
Fenomena kasus perundungan korbannya bahkan tidak hanya terjadi murid, tapi juga kepada tenaga pendidik. Hal ini menjadi bukti, bahwa iklim keamanan sekolah masih sangat rentan bagi setiap masyarakat di sekolah.
Anggota DPR RI Dapil Kalimantan Timur ini, meminta setiap sekolah memiliki standar operasional prosedur untuk menerima pengaduan terkait kasus-kasus perundungan. Salah satu yang disarankannya adalah, membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
“Selain itu, pengawasan yang ketat, dan menjadikan sekolah tempat yang paling aman bagi murid dan guru juga tindakan awal untuk menghentikan perundungan. Serta membangun budaya pendidikan yang baru, yakni mengajarkan anak untuk memiliki sikap dan prinsip penghormatan, empati, toleransi, dan pengertian yang tidak hanya diajarkan di sekolah, tapi dimulai dari keluarga,” saran Hetifah, Selasa (7/11/2023).
Hetifah menegaskan, Komisi X DPR RI bersama pemerintah, juga terus aktif menyuarakan kampanye anti-bullying melalui pendekatan yang komprehensif. Selaku legislatif, pihaknya akan memastikan penyelesaian kasus perundungan tidak hanya menekan pada aspek pendidikan, tapi juga kebudayaan.
“Jika diperlukan kami Komisi X akan membentuk Panitia Kerja (panja) sebagai fungsi pengawasan. Dengan Panja DPR akan lebih leluasa melibatkan berbagai institusi terkait,” jelas perempuan lulusan School of Politic and International Studies, Universitas Flinders.
Namun, untuk para pelaku perundung yang sudah terjadi, tidak bisa hanya diselesaikan melalui tindakan hukum. Pun pemberhentian dari sekolah tidak akan menyelesaikan masalah. Pendekatan yang lebih realistis adalah dengan memberikan program rehabilitasi. Sehingga membangun kembali karakter pelaku perundung, dengan menanamkan sikap dan prinsip empati, pengertian, toleransi, dan memahami bahwa setiap tindakan dibarengi dengan risiko dan tanggung jawab.
“Tentu pendekatan yang efektif akan bervariasi, tergantung pada situasi dan karakteristik individu pelaku bullying. Juga diperlukan adanya konsultasi dengan ahli yang berpengalaman. Sehingga kita dapat memastikan bahwa upaya yang dilakukan, untuk mencegah kambuhnya perilaku perundungan di masa depan oleh pelaku,” terang dia.
Dia menerangkan, kasus perundungan ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Karena itu, fenomena ini perlu mendapat perhatian serius yang perlu diselesaikan. Satuan pendidikan ucap Hetifah, adalah garda terdepan untuk menyelesaikannya.
“Guru harus menjadi lini pertama yang mengenali dan mendeteksi potensi terjadinya perundungan sehingga bisa bersikap lebih pro-aktif bukan reaktif semata,” tutur dia. Di sisi lain, peran orang tua dan keluarga juga sangat vital, dalam menyelesaikan terjadinya kasus perundungan. Terutama untuk memberikan pemahaman bahaya bullying, dan memastikan anak-anak tidak menjadi korban, apalagi pelaku perundungan.
Sejalan dengan hal itu, murid-murid juga perlu diberikan penyadaran bahwa setiap individu memiliki martabat yang setara. Sehingga, tidak boleh saling melecehkan atau merendahkan antarmurid yang lain atas dasar apapun.
“Ini tentang mengubah suatu kebudayaan pendidikan dan karakteristik bangsa. Tentu tidak mudah, tapi sangat mungkin dilakukan. Sehingga ke depan kasus perundungan tidak terjadi lagi, dan sekolah serta menjadi tempat yang paling aman bagi anak,” harap Hetifah. {sumber}