Berita Golkar – Sejarah terbentuknya Partai Golkar telah melalui perjalanan yang cukup panjang dan tidak terlepas dari sosok Soekarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara. Partai Golkar, sebelumnya dikenal sebagai Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuah entitas politik di Indonesia yang berakar dari kolaborasi gagasan tiga tokoh penting: Soekarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Konsep integralistik-kolektivitis yang mereka usulkan sejak tahun 1940 menjadi cikal bakal Golongan Fungsional, yang kemudian, pada 1959, diubah namanya menjadi Golongan Karya dalam bahasa Sansekerta. Sejak itu, eksistensi Golongan Karya dikenal sebagai Golkar dalam arena politik nasional.
Pada dekade 1950-an, pembentukan Golongan Karya awalnya bertujuan sebagai perwakilan berbagai golongan dalam masyarakat, menjadi suatu representasi kolektif yang mencerminkan ‘demokrasi’ ala Indonesia yang diidamkan oleh Bung Karno, Prof Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Awalnya, Golkar bukanlah partai melainkan wadah perwakilan golongan melalui Golongan Karya, menjadi alternatif dalam sistem perwakilan dan dasar bagi lembaga-lembaga representatif. Tahun 1957 menjadi awal berdirinya organisasi Golkar, saat sistem multipartai mulai berkembang di Indonesia.
Golkar sebagai alternatif terdiri dari berbagai golongan fungsional. Perubahan terjadi saat Bung Karno dan Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution, bersama Angkatan Darat, mengubah Golkar dari wadah perwakilan menjadi partai politik guna melawan PKI.
Perubahan ini bertentangan dengan konsep awal Golkar yang menolak ide partai dan perbedaan kelas yang ditekankan oleh PKI. Golkar semula berkonsep menyatukan dan menggalang kerja sama lantas berubah menjadi partai politik. Paradoksnya, Golkar yang tadinya menolak keberadaan partai justru menjadi sebuah partai yang tetap eksis hingga saat ini.
Kehadiran Partai Golkar pada masa Orde Baru menjadi salah satu upaya pembaruan politik di Indonesia. Pada Pemilu 3 Juli 1971, Sekber Golkar meraih suara sebesar 62,8 persen, mendapatkan 236 dari 360 kursi anggota DPR, yang kemudian ditambah dengan 100 kursi yang diisi oleh anggota yang ditunjuk pemerintah. Suara terbanyak lainnya adalah 18,7 persen untuk NU, sementara PNI dan Permusi hanya meraih 6,9 persen dan 5,4 persen secara berturut-turut. {sumber}