Berita Golkar – Jagad politik di Republik ini menjelang Pemilu 2024 kian riuh rendah. Sejumlah partai telah menyatakan dukungan kepada tiga calon presiden yang ada dan salah satu partai besar di Indonesia, Partai Golkar telah pula menyatakan sikapnya dalam mendukung salah satu calon presiden.
Seperti apa dan bagaimana kebijakan yang ditempuh Partai Golkar, berikut kutipan wawancara Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar sekaligus Ketua Komisi II DPR dilansir dari YouTube Tribunews Network.
Bagaimana pandangan Bapak terkait Pemilu 2024?
Golkar menginginkan Pemilu 2024 menjadi pemilu yang lebih berkualitas dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Apa indikatornya? Pertama adalah kita tentu tidak mau mengulangi peristiwa 2019, Pemilu memberi dampak keterbelahan atau polarisasi di dalam masyarakat. Golkar menangkap hal itu terjadi sebetulnya hanya masalah komunikasi saja. Jadi komunikasi politik antar elite yang belum selesai kemudian dibawa ke bawah atau bisa juga terputusnya komunikasi elite dengan masyarakat. Ini yang mau kita perbaiki.
Pemilu 2024 nanti, Pilpres barengan dengan Pileg sama seperti 2019. Jadi pimpinan partai enggak mungkin mikirin Pilpres aja atau mikirin Pileg aja. Pasti mikirin dua-duanya. Alhamdulillah Golkar adalah partai yang terbuka bisa bekerja sama dengan siapa saja. Kita nyaman-nyaman saja dengan semua partai politik.
Bagaimana Golkar melihat Jokowi Effect terhadap pelaksanaan Pemilu 2024?
Pak Jokowi adalah presiden dua periode sampai Oktober 2024 nanti. Apa yang sudah ditorehkan oleh Pak Jokowi menurut saya beliau masih sebagai variabel yang relatif besar untuk turut menentukan pemilu dapat berjalan dengan sukses. Sekarang tinggal mau apa tidak? Apakah dia memilih untuk mempersilakan saja karena semua adalah kader-kader bangsa ataukah dia akan meng-endors seseorang, itu tergantung sepenuhnya pada Pak Jokowi dan saya kira nanti akan besar pengaruhnya.
Bagaimana dengan cawe-cawe yang dilakukan Pak Jokowi?
Menurut saya sih wajar saja ya. Masak kita larang harapan, di mana Pak Jokowi sudah melakukan sesuatu dan belum tuntas, ya dia titipkan khan boleh-boleh aja. Saya kira setiap presiden juga begitu lah. Soal cawe-cawe itu memang relatif dilihat dari perspektif mana.
Golkar tentu memiliki gagasan sendiri. Apakah related dengan yang sudah dilakukan oleh pemerintah saat ini?
Golkar merupakan bagian dari pemerintahan Pak Jokowi. Jadi apa yang dikerjakan pemerintah sekarang, Golkar terlibat. Memang masih banyak PR yang belum selesai sekarang ini, juga banyak hal-hal yang baru yang muncul di mana 5-10 tahun ke depan tantangannya pasti berbeda dan itu yang harus kita sempurnakan.
Seperti apa pandangan Bapak terhadap IKN dan proyek-proyek infrastruktur lainnya?
Golkar ini partai developmentalism, partai pembangunan, partai karya kekaryaan. Waktu zaman kami berkuasa, itu yang dikedepankan memang pembangunan fisik. Jadi pembangunan infrastruktur adalah sesuatu yang penting dan sekarang kita merasakan. Menurut saya itu baik dan kalau baik kita akan terus. Tinggal persoalannya, harus adanya balancing soal pembiayaan, soal APBN kita dan segala macam.
Golkar lebih setuju pemilu sistemnya proporsional terbuka bukan proporsional tertutup, apa plus minusnya?
Buat Golkar bukan soal sistem pemilunya. Golkar satu-satunya partai politik yang pernah meraih kemenangan di dua sistem tersebut. Kami enggak persoalkan sistemnya, seharusnya kita kalau mau mengubah sistem pemilu itu mempunyai waktu dan energi yang cukup. Di dalam aturan kita, tahapan pemilu itu dimulai 20 bulan sebelum hari h. Ibarat mau maen bola, kita sudah ada di lapangan, sudah ada penontonnya. DPT sudah dicatat, tiba-tiba ada pemain yang minta aturan maennya diganti. Lah, orang khan jadi kacau.
Sebaiknya, jauh sebelum permainan dimulai atau sesudah permainan untuk permainan berikutnya. Terbuka ataupun tertutup ada plus minusnya, bahkan sekarang ada yang baru, yaitu hybrid atau mix. Kalau ditanya ke saya, yang cocok untuk Indonesia itu adalah yang mix. Golkar sudah mengajukan masalah ini pada 2019 lalu, supaya ada waktu yang cukup untuk sistem pemilu selanjutnya.
Kita kaji yang lalu itu apa kekurangannya lalu kita cari mana sistem yang bisa menutup kekurangan itu. Dan kalau bicara tentang penyempurnaan sistem pemilu berarti kita bicara tentang sistem politik, sistem pemerintahan. Bukan sekadar terbuka atau tertutup, masih banyak variabel lain yang harus kita kaji yang itu saling keterkaitan, threshold misalnya, tidak bisa sendiri-sendiri. Belum lagi kita harus punya waktu yang cukup untuk sosialisasi ke masyarakat.
Masyarakat khawatir keterbelahan dan polarisasi seperti 2019 terjadi lagi di 2024. Bagaimana pendapat Bapak?
Kekhawatiran itu tetap ada dan harus tetap kita pelihara supaya kita jangan merasa aman-aman saja. Tetapi saya agak optimistis dan kita terus berdoa kejadian 2019 tidak akan terulang. Saya kira di level elite kesadaran itu sudah cukup tinggi. Semua ketua umum parpol punya kesadaran yang sama, bahwa kita tidak boleh mengalami kembali kejadian seperti 1019. Keterbelahan ini ada dua, pertama antar elite yang sibuk sendiri dan masyarakat jadi penonton. Padahal elite itu adalah para teladan bagi masyarakat.
Yang kedua, ada pertarungan di bawah yang tidak diselesaikan oleh para elite. Alhamdulillah kita dibantu oleh media, enggak ada lagi yang bisa disembunyikan sekarang dan menjadi political education buat masyarakat. Masyarakat dididik bahwa berbeda itu tidak apa-apa, toh berbedanya khan cuma 14 Februari saja atau dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang. Setelah itu, ya kita sama-sama lagi aja seperti biasa tidak perlu ada lagi yang harus dibedakan.
Pesan yang ingin disampaikan?
Saya menyampaikan pesan buat masyarakat, kalau kita berbeda terus-menerus energi kita akan terkuras dan kontra produktif. Yang harusnya energi kita dibuat untuk membangun Indonesia. Jangan sia-siakan energi kita untuk saling membenci sesama saudara kita. Selain dilarang oleh keyakinan kita masing-masing dan itu merugikan bangsa kita. Satu lagi, buat saya pemilu adalah kendaraan bagi kita untuk menuju kepada situasi dan keadaan yang lebih maju, lebih baik, dan lebih membangun. Jadi kita anggap pemilu ini media untuk mencapai kebaikan dan kita isi dengan kebaikan-kebaikan. {sumber}