DPP  

Ace Hasan Akui Program Bansos Jokowi Beri Keuntungan Elektoral Bagi Partai Golkar

Berita Golkar – Bagi-bagi bantuan sosial yang dilakukan Presiden Joko Widodo ternyata juga dimanfaatkan para politikus. Mereka berharap mendapat insentif elektoral dari program bansos tersebut.

Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily saat dihadirkan sebagai saksi oleh kubu Prabowo-Gibran dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya hal itu adalah sebuah kewajaran.

“Sebagai anggota legislatif tentu kami menginginkan setiap program-program dari mitra kami, juga memberikan insentif elektoral kepada kami,” kata Ace, Kamis (4/4/2024).

Ace menyebutkan, praktik itu tidak hanya terjadi di Komisi VIII yang membidangi isu sosial, tapi juga di komisi lain seperti Komisi X yang membidangi dunia pendidikan lewat Program Indonesia Pintar dan KIP Kuliah.

Politikus Partai Golkar ini pun menilai wajar apabila anggota dewan ingin setiap program dari mitra kerjanya berpengaruh terhadap elektoral mereka. “Dan saya kira itu tidak salah karena itu bagian dari memperjuangkan daerah pemilihan kami,” ujar Ace.

Dengan demikian, menurut Ace, praktik politik kentong babi (pork barrel politics) yang dipersoalkan sejumlah pihak cenderung lebih banyak terjadi pada pemilihan legislatif.

“Setiap program bansos ini pun, terus terang saja, justru lebih condong dimanfaatkan insentif elektoralnya oleh anggota legislatif, daripada misalnya dikaitkan langsung dengan proses pilpres,” kata Ace seperti dilansir Kompas.com.

Namun demikian, ia tidak memungkiri bahwa program bantuan sosial juga dikapitalisasi oleh para calon presiden dan wakil presiden dengan memodifikasi program yang sudah ada. “Saya kira bukan hanya capres 02, tetapi juga capres-capres yang lain dengan istilah misalnya PLH Plus, Kartu Sakti, dan lain sebagainya,” kata Ace.

Anggota Komisi VIII DPR Abdul Wachid yang juga dihadirkan sebagai saksi membenarkan pernyataan Ace. Bahkan, ia mengaku mendapatkan jatah dari Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk ikut menyerahkan bantuan di daerah pemilihan.

“Ini kami selaku anggota dewan itu setiap turun ke daerah pemilihan, diberi oleh Ibu Menteri Sosial untuk ikut menyerahkan bantuan itu sampai ke tingkat desa-desa,” kata Wachid.

Wachid menyebutkan, praktik itu sudah terjadi sejak tahun 2021 hingga 2024. Namun, ia mengaku aksi bagi-bagi bansos itu tidak begitu berdampak pada tingkat keterpilihan anggota dewan. “Contoh, di Komisi VIII, 51 anggota DPR di 2024 ini yang terpilih dari 51 hanya 21 anggota dewan, 33 tidak terpilih,” kata Wachid.

“Ini artinya, kalau itu dikatakan kalau bantuan sosial membuat dampak kepada salah satu capres, salah satu elektoral itu tidak ada artinya,” ujar dia.

Apa itu politik gentong babi?

Sebelumnya ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri menyinggung istilah pork barrel politics atau politik gentong babi dalam Sidang Sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi, Senin (1/4/2024).

Dalam sidang tersebut, Faisal mengatakan bahwa masyarakat yang kesulitan membeli beras saat ini disebabkan oleh banyaknya bantuan sosial (bansos) yang dilakukan di masa Pilpres 2024. Banjirnya bantuan sosial menjelang Pilpres 2024 dikategorikan Faisal sebagai salah satu praktik dari politik gentong babi.

“Politik gentong babi ini mengacu pada praktik yang dilakukan politisi yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan pusat, yang mampu menggelontorkan uang lebih besar agar menarik pemilih sehingga dia terpilih kembali,” ungkap Faisal, dikutip dari KOMPAS TV.

Lebih lanjut, Faisal menuturkan bahwa pada 2024, ada beberapa jenis bansos yang tiba-tiba dikeluarkan oleh pemerintah. Faisal mencontohkan, pada 2021, Indonesia dilanda El Nino dalam skala yang lebih parah daripada 2024.

Namun Bansos El Nino justru diadakan dan diberikan kepada masyarakat pada 2024 ketika intensitasnya sudah mulai mereda.

Pengertian dan sejarah politik gentong babi

Dikutip dari Kompas.com, Selasa (13/2/2024), menurut Antonius Saragintan dan Syahrul Hidayat dalam buku Politik Pork Barrel di Indonesia (2011), politik gentong babi adalah usaha petahana untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana dengan tujuan tertentu.

Istilah “tujuan” dalam pengertian tersebut merujuk kepada usaha agar dirinya terpilih kembali dan menjabat selama beberapa tahun ke depan.

Sedangkan makna harfiah dari politik gentong babi berasal dari awal tahun 1700-an, dilansir dari Investopedia, Minggu (29/10/2023).

Zaman dulu sebelum adanya pendingin, daging babi diasinkan dan diawetkan dalam tong kayu yang masing-masing dapat menampung lebih dari 30 galon.

Mudahnya melihat bagaimana daging tersebut “mencelupkan diri ke dalam gentong” merupakan sebuah gambaran dari rakyat yang “tercelup” dan menjadi bagian dari politik uang dalam jumlah yang besar.

Istilah politik gentong babi pertama kali digunakan dalam cerita The Children of the Public pada 1863 oleh penulis dan sejarawan Edward Everett Hale.

Sepuluh tahun kemudian, ungkapan politik gentong babi memiliki arti pengeluaran dana publik oleh seorang politisi untuk kepentingan sekelompok kecil orang dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dalam bentuk suara atau sumbangan kampanye.

Di zaman modern, pembelanjaan dalam gentong babi berarti pembelanjaan yang sia-sia pada proyek-proyek pekerjaan umum lokal yang nilainya meragukan, atau hanya bernilai bagi satu konstituen politisi.

Contoh praktik politik gentong babi

Salah satu contoh paling terkenal dari praktik politik gentong daging babi adalah proyek Bridge to Nowhere.

Proyek jembatan kontroversial ini terletak di Ketchikan, Alaska, AS, yang awalnya diusulkan sebagai sarana untuk menghubungkan Pulau Gravina ke Bandara Internasional Ketchikan di dekat Pulau Revillagigedo, dilansir dari Faster Capital, Jumat (8/3/2024).

Pada 2005, Kongres Amerika Serikat (AS) menyetujui alokasi 223 juta dollar AS atau Rp 3,5 triliun untuk sebuah jembatan yang menghubungkan dua kota kecil di pedesaan Alaska. Namun, proyek ini menjadi terkenal karena menelan biaya yang fantastis dan dinilai kurang praktis.

Adapun biaya pembangunan jembatan tersebut membengkak hingga 398 juta dollar AS atau Rp 6,3 triliun. Proyek ini menjadi simbol pemborosan dan bertahun-tahun kemudian proyek dibatalkan secara keseluruhan demi meningkatkan sistem kapal feri lokal.

Contoh lainnya adalah Proyek Big Dig di Boston, AS saat bagian jalan raya sepanjang 3,5 mil atau 5,63 kilometer dipindahkan ke bawah tanah. Proyek ini menelan biaya 15 miliar dollar AS atau Rp 238 triliun, yang nominalnya sekitar lima kali lipat dari perkiraan awal.

Konstruksi pertama dari proyek Big Dig dilakukan pada September 1991 dan memerlukan waktu lebih dari 14 tahun ketika proyek tersebut selesai pada Januari 2006, dikutip dari laman resmi Commonwealth of Massachusetts. {sumber}