Berita Golkar – MEDIO awal hingga pertengahan September, jadi kurun waktu ketika nama H. Tb. Ace Hasan Syadzily, jadi sasaran tembak beberapa kalangan. Betapa tidak, politisi Golkar yang selama ini ada di garda terdepan sebagai penganut Islam moderat, dituding sebagai bagian dari kelompok Islam puritan yang menihilkan perbedaan. Bahkan seorang pengurus Ormas sampai menuduh Ace memiliki kebencian yang besar terhadap agama lain selain Islam.
Semua berawal dari pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini, ketika ditanya oleh seorang Guru Agama Islam tentang pemutaran film “His Only Son”. Sontak Ace menjawab sebaiknya film itu dihentikan untuk ditonton bagi anak-anak yang beragama Islam. Namun, bagi Ace, penayangan film ini dapat dipahami jika hanya ditonton pemeluk agama yang meyakininya. Bagi Ace, setiap orang memiliki keyakinan yang harus dihormati.
Ia mengkritisi narasi film itu yang secara ajaran berbeda dengan pemahaman umat Islam pada umumnya. Karena di film itu, Abraham (Nabi Ibrahim a.s.) disebut hanya memiliki satu anak bernama Ishak (Nabi Ishak a.s.). Padahal di dalam ajaran Islam, ada Nabi Ismail a.s. sebagai anak pertama Nabi Ibrahim a.s. sebelum kemudian lahirlah Nabis Ishak a.s.
Orang-orang yang mengenal Ace, tentu hanya tersenyum –untuk tak mengatakan tertawa terbahak-bahak– mendengar tuduhan tak berdasar itu. Ya, karena semua tahu, tak ada catatan sedikipun mengenai pengerdilan terhadap minoritas oleh Ketua DPD Partai Golkar ini. Justru sebaliknya, ia adalah sosok yang berada di barisan utama “Islam Jalan Tengah”, yakni wajah Islam yang damai, modern dan berkarakter Indonesia.
Dalam beberapa pertemuan yang kebetulan penulis berada di tempat yang sama, pria kelahiran Pandeglang, 47 tahun lalu ini senantiasa mengatakan hal senada, mengenai pentingnya moderasi beragama. “Kita itu perlu menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka NKRI,” tandasnya.
Dari pernyataan ini kita bisa menarik benang merah, bahwasanya menjalankan ajaran Islam yang kaffah tak berarti harus bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Ace yang usia mudanya dihabiskan sepenuhnya di lingkungan pendidikan Islam, justru muncul sebagai pribadi yang memahami betul arti dan realitas perbedaan.
Faktanya, ia begitu fasih berbicara soal 4 pilar kebangsaan –Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI– namun pada saat bersamaan, menjalankan semua kewajibannya sebagai Muslim secara baik. Ace begitu “ngelotok” kalau bicara soal ke-Indonesia-an, namun jangan heran pula kalau ia mampu membaca alquran dengan tajwid, makhroj dan langgam yang mendekati sempurna.
Seorang da’i jebolan Al-Azhar sempat menjadi ma’mum di Masjid Abubakar Ash-Shiddiq, Cileunyi, Kab. Bandung, saat Ace didaulat menjadi imam. “Saya belum pernah berinteraksi dengan politisi partai nasionalis yang bacaan sholatnya sebaik ini. Makhrojnya bener, tajwidnya bener bahkan nada lagunya pun enakeun. Terus terang kami merindukan aparatur yang fasih berkebangsaan dan sekaligus kaffah beragama. Keduanya tak boleh dipertentangkan,” kata Ust. Yadi Saeful Hidayat, belum lama ini.
“Semoga Pa Ace tetap konsisten di Jalan Tengah ini. Harus hati-hati juga, karena musuh-musuh politiknya bisa saja memfitnahnya, hanya karena baik bacaan alquran-nya, diterima di pesantren, disukai para kyai, lalu dicap radikal,” ujarnya.
Jadi, sekali lagi, jika Ace tak setuju penayangan film “His Only Son” ditonton anak-anak peserta didik yang beragama Islam itu semata didasari keinginan agar akidah Islam umat tak terganggu, serta mencegah ketegangan yang mungkin terjadi. Salah besar jika itu diartikan bentuk ekstrimisme Islam. {sumber}
Penulis: Dadan Hendaya, wartawan senior Kota Bandung