Berita Golkar – Ketua DPD Lanyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan wacana MPR dapat kembali memilih dan melantik Presiden. Golkar tak sepakat dengan pernyataan dari Lanyalla tersebut.
“Saya sangat tidak setuju dengan usulan pemilihan Presiden dikembalikan ke MPR,” kata Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily, saat dihubungi, Rabu (16/8/2023).
“Pemilihan Presiden langsung oleh rakyat merupakan mandat Reformasi di mana rakyat yang menginginkan untuk memilih langsung presidennya,” tambahnya.
Menurutnya, pemilihan presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat merupakan cermin dari kedaulatan rakyat. Dengan sistem itu, lanjutnya, rakyat secara langsung menggunakan hak politiknya.
“Jika pemilihan presiden dikembalikan ke MPR RI, maka dengan sendirinya mengembalikan MPR sebagai tertinggi negara. Ini pasti membutuhkan amendemen UUD 1945. Secara sistem politik, demokrasi kita akan kembali mundur ke belakang,” ujarnya.
Ketua DPD Usul MPR Pilih Presiden
Ketua DPD RI Lanyalla Mahmud Mattalitti bicara soal proposal kenegaraan, yakni menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara lagi dan berhak memilih serta melantik presiden. Lanyalla mengatakan pemilu justru melahirkan politik kosmetik yang mahal.
Hal ini disampaikan Lanyalla dalam sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR/DPD RI tahun 2023 di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8). Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut hadir dalam acara sidang tahunan.
Lanyalla mulanya menyinggung keputusan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023, yang salah satunya mengusulkan mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dia mengajak berbagai pihak menghentikan kontestasi politik yang menurutnya diraih dengan cara liberal.
“Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme,” kata Lanyalla.
Menurut Lanyalla, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat malah melahirkan politik kosmetik yang mahal. Dia menilai proses pemilihan pemimpin sekadar bermodalkan popularitas.
“Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi,” ujarnya.
Lanyalla lalu menyinggung elektabilitas bakal calon presiden (bacapres) potensial yang menurutnya menggiring publik melalui angka-angka. Dia mengkritik proses pilpres karena rakyat disodorkan realitas politik yang telah didesain.
“Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka. Lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa,” katanya. {sumber}