DPP  

Achmad Annama Puji Sosok Dasco di Balik Keputusan Prabowo Beri Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong

Berita GolkarTokoh pemuda nasional, Achmad Annama, memberikan apresiasi tinggi pada peran strategis Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mendorong lahirnya keputusan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto.

Bagi pakar komunikasi Islam STID Sirnarasa ini, sosok Dasco adalah kancil politik; sosok cerdik, tenang, namun penuh strategi yang menjadi sutradara di balik panggung monumental Presiden Prabowo Subianto dalam membuka era baru rekonsiliasi nasional.

“Kalau ada yang layak disebut sutradara langkah damai, dialah Dasco. Ia bukan hanya juru runding politik lintas kubu, tapi juga penentu tempo dan arah dalam dinamika strategis kekuasaan,” ujar Achmad Annama, Minggu (03/08).

Ia menyebut, keputusan Prabowo bukanlah tindakan impulsif. Di baliknya, ada kerja-kerja politik panjang yang dibangun dengan kecermatan. Figur Sufmi Dasco Ahmad menjadi kunci, Dasco adalah penghubung antar poros kekuasaan, pengurai ketegangan antar partai, dan penyeimbang antara idealisme hukum dan kenyataan politik.

“Dasco ini seperti maestro dalam ruang temaram. Bekerja dalam senyap, tapi dampaknya terasa dalam skala nasional. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan kapan harus bertindak. Kejeniusannya dalam meretas persoalan patut diacungi 2 jempol,” tegas Ketua DPP KNPI Bidang Infokom ini.

Terlepas dari bagaimana kebijakan ini dirumuskan, Annama menegaskan bahwa kasus Tom Lembong telah menjadi sorotan banyak kalangan karena tidak adanya mens rea atau niat jahat dalam perbuatannya, namun putusan pengadilan tetap menjatuhkan vonis bersalah. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang objektivitas lembaga peradilan dan independensi hakim dalam memutus perkara yang sarat nuansa politik.

“Hakim itu bukan wakil Tuhan yang mutlak di bumi. Ketika keputusannya terindikasi memiliki bias politik atau tidak bebas dari kepentingan eksternal, maka publik berhak mempertanyakan. Negara hukum tak boleh membiarkan sistem peradilan berjalan seolah suci padahal pincang di dalam,” tegas ketua Departemen MPO DPP Partai Golkar.

Ia menambahkan, kekuasaan eksekutif memang tak boleh mencampuri proses hukum secara serampangan, namun dalam konteks abolisi dan amnesti, Presiden justru menjalankan mekanisme hukum yang diatur konstitusi sebagai bagian dari koreksi terhadap keadilan yang gagal diwujudkan oleh proses peradilan.

Ketua DPP Bapera ini menambahkan, Prabowo mengambil jalan berani nan bijaksana dalam membaca denyut demokrasi Indonesia pasca-Pemilu. Keputusan ini menjadi tanda bahwa pemerintah baru tidak sedang merawat dendam, tapi justru mengajak rekonsiliasi dengan merangkul semua kekuatan politik, termasuk mereka yang dulu berada di barisan oposisi.

“Prabowo sedang mengirimkan pesan bahwa kompetisi politik telah usai. Kini waktunya membangun Indonesia secara bersama, tanpa prasangka. Ini pesan besar yang tersirat dan layak diapresiasi,” kata aktivis SOKSI ini.

Annama juga menyinggung pentingnya evaluasi terhadap sistem peradilan nasional, terutama di tengah tudingan kriminalisasi politik yang marak selama satu dekade terakhir. Menurut koordinator Golkar Milenial ini, rekonsiliasi politik takkan bisa berjalan jika keadilan tetap dikendalikan aktor-aktor yang menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan.

“Peradilan yang tidak memunculkan rasa keadilan bukan hanya cacat, tapi juga merusak masa depan demokrasi kita. Ini perlu evaluasi serius ke depan. Presiden Prabowo sudah membuka pintu. Tugas kita sebagai bangsa adalah menjaga agar prinsip keadilan tetap jadi kompas yang jelas arahnya,” tegas konsultan Digital Branding ini.

Diketahui, keputusan Presiden Prabowo dalam memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan amnesti untuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto telah menimbulkan berbagai respons dari publik. Namun secara umum, banyak kalangan menilai ini langkah konstitusional yang sah dan diperlukan dalam strategi membangun harmoni nasional.

Annama menutup dengan pesan bahwa harmoni bangsa tidak bisa ditegakkan dengan memukul, tetapi dengan merangkul. Dan keputusan politik seperti ini, menurutnya, harus dibaca sebagai keberanian negara dalam menghadapi fakta bahwa keadilan hukum pun bisa keliru, dan perlu diperbaiki dengan jalan konstitusional.

Leave a Reply