Adde Rosi: Putusan MK Tetap Beri Ruang Sekolah Swasta Mandiri Biayai Operasional Tanpa Dipaksa Gratis

Berita GolkarAnggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Golkar, Adde Rosi Khoerunnisa menyoroti implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun (SD-SMP) di sekolah negeri dan swasta. Adde Rosi menekankan pentingnya menyeimbangkan semangat afirmasi untuk kesetaraan akses pendidikan dengan realitas partisipasi masyarakat dan kemampuan fiskal negara.

Adde Rosi menyatakan pemahamannya atas semangat konstitusional putusan MK guna menghapus diskriminasi dan hambatan ekonomi, khususnya bagi peserta didik yang terpaksa ke sekolah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

“Kami mengapresiasi penegasan MK bahwa negara wajib memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat akses pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi atau sarana,” ujarnya, Kamis (29/5) di Jakarta.

Adde Rosi juga menekankan bahwa putusan MK tetap memberikan ruang bagi sekolah swasta mandiri untuk membiayai operasionalnya selama memenuhi kriteria, tanpa dipaksa gratis tanpa dukungan anggaran negara.

Selaras dengan pernyataan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, Adde Rosi juga menyuarakan kekhawatiran terhadap partisipasi masyarakat. “Partisipasi aktif ormas seperti NU dan Muhammadiyah melalui ribuan sekolah swasta mereka adalah tulang punggung pendidikan Indonesia sejak pra-kemerdekaan,” jelas legislator Partai Golkar Dapil Banten I, meliputi Lebak dan Pandeglang tersebut.

Ia mengkhawatirkan kebijakan ini, jika tidak dirancang hati-hati, berpotensi mengurangi semangat gotong royong dan membebani negara secara finansial. Adde menambahkan, sekolah berbasis masyarakat ini turut memperkaya khazanah pendidikan nasional dengan kearifan lokal dan nilai keagamaan.

Pada aspek pembiayaan, Anggota Komisi X DPR RI tersebut mempertanyakan kesiapan anggaran pemerintah. Data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan alokasi pendidikan APBN 2025 mencapai 20% (Rp 724 triliun), namun sebagian besar terserap untuk gaji guru, BOS, dan infrastruktur sekolah negeri.

“Jika harus menanggung biaya operasional penuh sekolah swasta dasar-menengah juga, dari mana sumber tambahan anggarannya? Apakah pemerintah siap realokasi atau naikkan defisit di tengah program efisiensi?” tanyanya.

Aspek lain dari kesiapan anggaran adalah perlunya penataan alokasi anggaran, sebagai salah satu contohnya adalah pengelolaan Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL), yang menghabiskan 39% dari total anggaran fungsi pendidikan dalam APBN 2025, sementara Kemendiktisaintek hanya mengelola 22% dari anggaran tersebut. Ironisnya, jumlah mahasiswa di PTKL hanya sekitar 200 ribu, jauh lebih kecil dibandingkan mahasiswa di PTN (3,9 juta) dan PTS (4,4 juta).

Penyelenggaraan PTKL saat ini tersebar di 24 kementerian dan lembaga dengan total 124 perguruan tinggi dan 892 program studi. Perlu penyederhanaan dan penataan sistem PTKL untuk memastikan tidak ada lagi pemborosan anggaran dan tumpang tindih kebijakan, agar hanya fokus pada pendidikan kedinasan. Program studi umum yang tidak sesuai dengan mandat Undang-undang harus dihapuskan karena bertentangan dengan Undang-undang.

Ia juga mengingatkan tantangan di APBD, mengutip laporan Kemendagri (2024) bahwa banyak daerah kesulitan memenuhi batas minimal 20% anggaran pendidikan akibat keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sebagai solusi, Adde Rosi merekomendasikan pendekatan kolaboratif, “Pemerintah bersama DPR perlu segera rumuskan payung hukum dan skema pendanaan operasional, berkelanjutan, dan adil.”

Rekomendasi yang perlu dilakukan yaitu reformulasi dan realokasi anggaran pendidikan prioritas. Memfokuskan bantuan penuh pada siswa miskin di sekolah swasta yang tidak tertampung di negeri; memperketat kriteria sekolah penerima bantuan penuh (akreditasi, biaya operasional riil, komposisi siswa tidak mampu); memperluas dan meningkatkan nilai BOS Afirmatif untuk sekolah swasta di daerah terpencil/berbasis siswa kurang mampu; serta membangun kemitraan sinergis dengan ormas pendidikan untuk rancang skema subsidi efektif tanpa mematikan inisiatif swadaya.

“Putusan MK adalah langkah maju untuk keadilan pendidikan. Tantangannya kini adalah implementasi cerdas, realistis, dan berkelanjutan tanpa abaikan peran vital masyarakat dan kesehatan fiskal negara. Komisi X DPR siap dorong dialog konstruktif,” pungkasnya.