Berita Golkar – Anggota Komisi XI DPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa menyoroti lemahnya database keuangan RI. Hingga berpotensi marak terjadi kejahatan keuangan yang sulit dideteksi seperti money laundry dan lainnya.
“Masalah kita sekarang ini adalah kita tidak memiliki data base terkait uang yang beredar, yang tercatat, ditambah lagi dengan banyaknya kasus money laundry. Termasuk dengan uang APBN, itu memang secara administratif selesai dalam bentuk barang, jalan, jembatan, tapi uang itu sesungguhnya tidak riil sepenuhnya jadi aset,” ujar Agun Gunandjar saat diwawancarai redaksi Golkarpedia, di Artotel Senayan, Jakarta, Senin (20/05).
Tokoh senior Partai Golkar ini menilai, meski uang yang ada di publik tercatat dalam register bank, tapi banyak kendala untuk mendeteksi penggunaan uang.
Bagaimana kalau uang itu diendapkan? Disimpan bertahun-tahun? Atau uang hasil kejahatan yang kemudian disimpan di luar negeri. Ini menjadi momok bagi perekonomian nasional.
“Sekarang itu banyak sekali uang yang beredar, hingga kita tidak mampu mendeteksi uang yang beredar secara riil di publik. Banyak uang-uang tertentu yang tidak tercatat, adanya mark up, korupsi, uang itu ada di mana? Ada di register bank. Lalu bagaimana di bank asing, mereka kan tidak kena UU Pencucian Uang,” tegas Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI ini.
Atas sebab kurangnya data pada uang yang beredar di masyarakat, dan proses pencatatan yang tidak rigid, Agun juga mencurigai adanya pembengkakan utang RI.
Pada sistem keuangan global seperti yang dipakai Amerika dan negara di Eropa, utang yang tercatat haruslah mencakup utang negara dan swasta, namun di RI utang swasta berada pada postur anggaran yang terpisah.
“Termasuk pada persoalan utang negara. Jangan-jangan utang kita lebih besar dari itu. Untungnya kita punya UU P2SK mengenai ekosistem sektor keuangan. Secara objektif ini problematika persoalan keuangan kita,” sambungnya lagi.
Dalam persoalan kejahatan keuangan, Agun menekankan pentingnya peran PPATK dalam mengungkap kasus. Namun peran PPATK seakan dikerdilkan. Padahal seharusnya PPATK bisa melakukan deteksi dini transaksi mencurigakan tanpa harus diminta. Selama ini data analisis transaksi keuangan yang dilakukan PPATK berdasar atas permintaan penyidik, entah itu KPK, Kejaksaan maupun Mabes Polri.
Artinya kasus ditemukan terlebih dahulu, baru dilakukan analisis atas transaksi yang bersangkutan. Harusnya ini bisa dilakukan secara terbalik. PPATK menganalisis transaksi keuangan seseorang, jika mencurigakan baru dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk menyelidiki.
“Saya juga menyoroti optimalisasi peran PPATK. Apa sih yang bisa dikontribusikan dalam rangka analisis transaksi keuangan. Apa sih yang bisa kita rasakan manfaatnya dewasa ini? Saya harap PPATK bisa optimal dalam mengungkap kasus kejahatan keuangan seperti money laundry,” tutur Kang Agun.
Selain UU P2SK, pintu masuk guna mempertajam fungsi dan peran PPATK dalam membantu menyelidiki kasus kejahatan keuangan sebenarnya bisa dilakukan dalam RUU Perampasan Aset.
Hanya saja, RUU ini hingga saat ini tak pernah terdengar lagi gaungnya. Padahal jika menjadi undang-undang, RUU Perampasan Aset bisa selamatkan ekonomi negara.
“Peran PPATK seharusnya bisa dipertajam di RUU Perampasan Aset. Lagipula motif RUU Perampasan Aset ini motifnya dendam, kental motif kepentingan. Saya ingin undang-undang apapun jangan bermotif kepentingan sesaat. Tapi sayangnya ini tidak pernah dibahas lagi,” pungkas Agun Gunandjar Sudarsa. {redaksi}