Ahmad Irawan Nilai Putusan MK Diskualifikasi Pilkada Barito Utara Beri Efek Jera Pelaku Money Politics

Berita Golkar – Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan memberikan catatan kritis terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara.

MK sebelumnya mendiskualifikasi semua pasangan calon bupati dan wakil bupati Pilkada Barito Utara lantaran terbukti terlibat politik uang yang sangat masif sehingga merusak demokrasi di Indonesia.

Adapun Pilkada ini diikuti dua calon yakni pasangan Gogo Purman Jaya – Hendro Nakalelo dan Pasangan Akhmad Gunadi Nadalsyah – Sastra Jaya. Diskualifikasi itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang gugatan hasil Pilkada Barito Utara 2024 pada Rabu (14/5/2025).

Ahmad Irawan mengatakan, putusan MK mendiskualifikasi seluruh peserta Pilkada seperti yang terjadi di Barito Utara ini merupakan hal yang baru yang dapat dikategorikan sebagai terobosan hukum (breakhthrough) untuk memberikan efek jera kepada pelaku politik uang (money politics).

Jika sebelumnya secara doktriner MK memutus pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistem dan masif (TSM) melalui pendekatan kuantitatif, namun dalam kasus Barito Utara juga dilakukan penilaian atas kualitas pelanggaran atau bobot pelanggaran yang berdampak pada keterpilihan pasangan calon dalam proses pemilihan.

Irawan yakin, MK dalam praktiknya berpegang pada prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal, yakni ‘nullus commodum capere potest de injuria sua propria’.

Artinya tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

Prinsip inilah kemudian digunakan MK dalam menjatuhkan berbagai putusan seperti hitungan ulang, pemungutan suara ulang, hingga diskualifikasi pasangan calon.

Namun, dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara, kedua pasangan calon yang bersengketa di MK ini, masing-masing bertindak sebagai Pemohon dan Pihak Terkait diberikan sanksi diskusialifikasi sebagai pasangan calon.

Sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Barito Utara selaku Pihak Termohon, diberikan sanksi dan diperintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang. Dengan demikian, para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut, dalam pandangan MK telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran.

“Mau tidak mau dan suka tidak suka apa yang diputus oleh MK harus dianggap benar dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip hukum hukmu al-hakimi ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (putusan pengadilan mengikat dan menghilangkan perbedaan) atau putusan MK mengakhiri sengketa hasil pemilihan Barito Utara (res judicata pro veritate habetur),” kata Irawan dalam keterangannya, Kamis (15/5/2025), dikutip dari RakyatMerdeka.

Politisi muda Fraksi Partai Golkar ini berpandangan, terdapat tiga hal pokok yang penting untuk diketahui publik mengenai putusan MK tersebut.

Pertama, MK dalam memutus perkara seharusnya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa hasil, namun juga mempertimbangkan kepentingan negara.

Dalam hal ini Pemerintah yang kembali harus mengeluarkan biaya untuk menyelenggarakan pemilihan, dan kepentingan rakyat agar segera terbentuk pemerintahan definitif untuk melakukan pelayanan publiK.

Kedua, pembuktian terjaidnya kejahatan money politic harusnya melalui pembuktian dan melalui proses pemidanaan.

“Melakukan pendekatan administrasi dalam penyelesaian kejahatan pemilu, menilai kualitas kejahatan dan dampaknya tanpa adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) mengenai kejahatan tersebut menurut saya sangat prematur dan merupakan bentuk prejudice institusi peradilan terhadap proses pemilu dan institusi negara yang terlibat menyelenggarakan dan mengawasi penyelenggaraan pemilu,” sebutnya.

Ketiga, tambah Irawan, perintah pemilihan ulang Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara dengan tetap menggunakan daftar pemilih tetap (DPT) yang lama, yang digunakan pada pilkada pertama pada 27 November 2024 lalu berpotensi melanggar hak konstitusional pemilih.

“Daftar pemilih seharusnya dimutakhirkan kembali karena bisa saja ada yang meninggal dunia, ada warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, terdapat penduduk baru dan yang berpindah, dan sebagainya,” tambahnya. {}