Berita Golkar – Amerika Serikat (AS) sepakat membebaskan sejumlah komoditas Indonesia dari bea masuk negaranya. Produk tersebut antara lain minyak sawit, kakao, dan karet. Tak pelak, kesepakatan ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas pasar ekspor ke AS. Hal itu diungkapkan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
“Pengecualian telah disetujui untuk produk yang tidak diproduksi di AS, seperti minyak sawit, kakao, dan karet. Tarifnya akan nol atau mendekati nol,” ujar Airlangga menukil Reuters, pada Rabu (27/8/2025), dikutip dari Konteks.
Tak hanya soal tarif, Airlangga menyebut kedua negara juga membicarakan potensi kerja sama investasi.
Negara pimpinan Presiden Donald Trump itu dikabarkan berminat untuk mendukung proyek penyimpanan bahan bakar di Indonesia bersama Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan PT Pertamina (Persero).
Indonesia, kata Airlangga, termasuk salah satu negara pertama yang berhasil mengamankan kesepakatan tarif dengan pemerintahan Presiden AS, Donald Trump.
Namun, tarif yang dikenakan ke Indonesia pada awalnya sama dengan negara lain, seperti Thailand dan Malaysia. Sedikit berbeda dengan Vietnam yang mendapat tarif 20 persen. Dalam proses negosiasi, Indonesia juga menawarkan investasi besar di AS.
RI siap membeli minyak mentah, LPG, pesawat, hingga produk pertanian dari Negeri Paman Sam.
Menurut penilaian Airlangga, kemajuan negosiasi dengan AS serta langkah Indonesia dalam perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa akan memperkuat kepercayaan investor global.
“Mereka membawa persepsi optimis dari pasar global karena sebagian besar investor mencari kepastian, dan Indonesia adalah salah satu negara yang memberikan kepastian global,” ujarnya.
Diketahui, pemerintah menargetkan kesepakatan ini bisa membantu mencapai proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada 2026.
Dikatakan Budi, pemerintah fokus untuk mendorong pengurangan tarif terhadap komoditas yang tidak diproduksi oleh AS. Dia juga menegaskan meski dikenakan tarif 19 persen, posisi Indonesia masih lebih kompetitif dibandingkan negara lain.
“Kalau kita lihat, tarif resiprokal 19 persen itu cukup bagus di kawasan Asean. Bahkan lebih kecil dari beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand,” tandasnya. {}