Berita Golkar – Pemerintah masih mencari sumber masalah dari pelemahan data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Kamis (1/8/2024).
Sebagaimana diketahui, S&P Global merilis data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia di zona kontraksi 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 menjadi 49,3 pada Juli 2024.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan melihat situasi yang menyebabkan angka indeks tersebut anjlok saat ini.
“Iya kontraksi 49,3. Ya tentu kita lihat situasinya karena di negara-negara lain masih di atas 50, terutama di ASEAN,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Kamis.
Airlangga mengatakan, sebetulnya rencana ekspansi bisnis di Indonesia masih baik. Namun, ia mengatakan, yang menjadi masalah ialah terkait optimisme sektor industri itu sendiri.
“Sebetulnya dari segi investasi ke depan sudah jelas, jadi tinggal optimisme sektor, dan optimisme dari pemerintah. Nah itu optimisme saja kita genjot, karena kalau negara lain optimis masa kita tidak optimis,” tegas Airlangga.
Sebelumnya, Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menjelaskan PMI mengalami kontraksi karena penurunan permintaan.
“Pesanan baru dan produksi turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Karena itu, para produsen bersikap hati-hati, dengan aktivitas pembelian sedikit dikurangi dan pekerjaan turun pada tingkat tercepat sejak September 2021,” tutur Paul, dikutip dari situs resminya.
S&P menjelaskan menurunnya permintaan disebabkan oleh lesunya pasar. Kondisi ini membuat penjualan turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. Ekspor menurun meskipun dalam skala yang lebih kecil. Adanya keterlambatan dalam pengiriman juga ikut menekan ekspor.
Kendala dari sisi pasokan juga membatasi perusahaan dalam meningkatkan output dan membuat keterlambatan pengiriman. Waktu tunggu rata-rata yang semakin panjang akibat tantangan pengiriman lewat jalur laut juga terus terjadi. Data survei terbaru menunjukkan bahwa waktu tunggu rata-rata kini lebih lama. Ini adalah kali pertama situasi tersebut terjadi dalam tiga bulan terakhir.
“Salah satu yang membuat waktu tunggu lebih lama dan pengiriman lebih panjang adalah karena situasi di Laut Merah” tulis S&P dalam laporannya. {sumber}