Berita Golkar – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan sejumlah komoditas strategis Indonesia yang terdampak kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump 2.0.
Ia menyebut kebijakan tersebut telah memicu lonjakan ketidakpastian ekonomi global dan meningkatkan risiko resesi di banyak negara.
“Terjadi pengumuman penetapan tarif oleh Presiden Amerika Trump 2.0, kita melihat bahwa economic uncertainty-nya langsung lonjak yang tertinggi. Nah, ini akibat kebijakan tersebut, probability recession juga meningkat, namun Indonesia masih relatif rendah di 5 persen,” kata Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025), dikutip dari CNNIndonesia.
Menurutnya, ketidakpastian kebijakan perdagangan ini juga mendorong gejolak di pasar uang global, pelemahan mata uang negara emerging market, hingga retaliasi tarif dari China.
Sementara, kata dia, gangguan terhadap rantai pasok global pun terjadi, sehingga banyak korporasi dunia menahan konsumsi dan ekspansi bisnis.
Airlangga menjelaskan sejumlah komoditas strategis dunia, termasuk dari Indonesia, mengalami tekanan harga akibat kebijakan tarif ini.
Harga minyak mentah (crude oil) dan minyak sawit (crude palm oil/CPO) tercatat turun, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang melambat ke level rata-rata 2,7 persen.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti AS, Eropa, China, Brazil, dan India, menurutnya, juga melambat, meski India masih diproyeksi tumbuh 6 persen. “Namun dengan adanya trade policy Trump ini diperkirakan ada koreksi sekitar 0,5 persen,” ujarnya.
Secara khusus, Airlangga menyebut kawasan ASEAN menjadi klaster negara nomor dua penyumbang defisit perdagangan bagi AS, setelah China. Jika digabungkan, kontribusi defisit perdagangan dari Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia mencapai nilai signifikan. Indonesia sendiri mencatatkan defisit perdagangan ke AS sebesar US$19,3 miliar atau Rp325,39 triliun (asumsi kurs Rp16.860 per dolar AS).
Adapun daftar komoditas yang mengalami penurunan harga akibat kebijakan tarif tersebut antara lain minyak mentah turun hampir 30 persen, minyak Brent turun 28 persen ke level sekitar US$60 per barel, batu bara turun 24 persen ke level US$97 per ton, kedelai, gandum, CPO, dan beras juga ikut melemah.
“Satu-satunya yang naik ini adalah emas. Jadi Pak Presiden (Prabowo Subianto) launching bullion (bank emas) tepat waktu karena ini menjadi komoditas yang recession proof, safe haven itu ada dua, dolar dan emas, dan kita punya emas. Jadi kita punya daya tahan yang kuat,” jelas Airlangga.
Sementara itu, di tengah penyesuaian global, beberapa negara memilih langkah respons berbeda. China melakukan retaliasi dengan menaikkan tarif barang impor dari AS sebesar 34 persen.
Lalu Vietnam meminta penundaan tarif, terutama untuk produk Nike, sementara India belum melakukan retaliasi meski tetap dikenakan sanksi. Malaysia dan Indonesia sendiri memilih pendekatan diplomatik dan negosiasi, termasuk mengandalkan kerangka kerja sama seperti Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) untuk memperkuat perdagangan intra-ASEAN.
Airlangga menyebut Indonesia memilih jalur negosiasi karena AS merupakan mitra strategis. Salah satunya lewat revitalisasi perjanjian perdagangan dan investasi (trade and investment framework agreement/TIFA) yang terakhir diperbarui pada 1996.
Lebih lanjut, Airlangga menegaskan ada beberapa komoditas RI yang dikecualikan dari tarif tinggi AS. Di antaranya adalah emas, tembaga, dan furniture.
Pengecualian ini terjadi karena AS sedang mencari alternatif pasokan untuk produk kayu akibat konflik dagang dengan Kanada, serta investasi mereka di sektor emas dan tembaga di Indonesia.
Adapun sektor yang paling terdampak dari kebijakan tarif ini adalah tekstil dan alas kaki. Namun, Airlangga menyebut Indonesia masih memiliki peluang untuk menegosiasikan tarif lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti China, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh. “Tarifnya lebih tinggi dari kita, jadi ini malah ada kesempatan kita untuk me-replace mereka,” katanya.
Untuk produk alas kaki, tarif bea masuk ke AS diperkirakan sekitar US$6 atau Rp101 ribu per produk, sementara harga jualnya di pasar AS bisa mencapai US$70-80 atau Rp1,1 juta hingga Rp1,3 juta per pasang. Produk pakaian asal Indonesia juga masih kompetitif karena harga jualnya berkisar US$20-25 atau Rp337 ribu-Rp421 ribu, sementara dijual di AS bisa mencapai US$80-100 atau hingga Rp1,6 juta.
“Jadi dampaknya mungkin tidak seberat yang kita pikirkan,” tutur Airlangga. {}