Berita Golkar – Penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan mengalami penurunan drastis pada Mei 2024 ini. Kondisi ini menunjukkan banyak perusahaan di Indonesia yang mengalami penurunan keuntungan.
Berdasarkan laporan APBN KiTa Mei 2024 Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan negara dari PPh badan bulan kemarin tercatat mengalami kontraksi hingga minus 35,7% secara netto. Kondisi ini sangat jauh berbeda dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh 24,8%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan penurunan pendapatan negara dari PPh badan ini sebagian besar dipengaruhi penurunan harga komoditas terutama batu bara dan sawit.
“Kalau penghasilan PPh badan (turun drastis), salah satunya akibat harga komoditas yang drop (jatuh), terutama batu bara kemudian sawit. Itu kan harga unitnya drop dibandingkan dengan sebelumnya,” kata Airlangga saat ditemui wartawan di kantor Transmedia, Jumat (28/6/2024).
Sebagai perbandingan, pada 2022 lalu harga batu bara sempat terbang hingga ke angka US$ 400 per ton menyusul energi di India dan keputusan Uni Eropa untuk melarang impor batu bara dari Rusia karena perang.
Namun saat ini harga komoditas itu turun hingga di kisaran US$ 133 per ton. Tentu perubahan harga ini membuat pendapatan akhir perusahaan sektor ini turun drastis. “Kalau dibandingkan pata saat COVID (2022) kan harga batu bara bisa sampai US$ 400 dolar,” jelasnya lagi.
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan penerimaan pajak RI sampai dengan Mei 2024 mencapai Rp 760,38 triliun atau 38,32% dari target APBN 2024.
“Pajak kita telah terkumpul hingga Mei Rp 760,38 triliun. Kalau kita lihat ini artinya 38,23% sudah kita kumpulkan dari target. Ini naik kalau dibandingkan bulan lalu Rp 624,19 triliun,” kata Sri Mulyani, dikutip dari siaran Youtube Kementerian Keuangan, Kamis (27/6/2024).
Jumlah setoran pajak ini tercatat mengalami perlambatan dari periode yang sama di 2023 yang mencapai Rp 830,29 triliun atau 48,33% dari targetnya. Salah satu komponen yang paling disorotinya ialah Pajak Penghasilan (PPh) Migas yang mencapai Rp 29,31 triliun, turun hingga 20,64%. Hal ini disebabkan oleh penurunan lifting migas.
“Padahal kalau kita lihat harga minyak cukup stabil dan dari sisi kurs harusnya memberikan pendapatan yang melebih dalam bentuk rupiah, namun liftingnya mengalami penurunan. Ini perlu kita perhatikan dari sisi produktivitas migas Indonesia,” ujarnya.
Komponen lainnya ialah PPh Non Migas yang juga terkontraksi sedikit 5,41%. Hal ini disebabkan adanya pelemahan harga komoditas yang menyebabkan perusahaan-perusahaan di sektor pertambangan mengalami penurunan keuntungan dibandingkan 2023. “Artinya mereka masih untung tapi menurun karena itu pembayaran pajaknya menurun,” imbuhnya.
Namun demikian, PPh Non Migas sendiri tetap menjadi penyumbang pajak terbesar dibandingkan komponen lainnya. PPh Non Migas tercatat mencapai Rp 443,72 triliun atau 41,73% dari target. {sumber}