Berita Golkar – Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah berani sekaligus kontroversial dengan menggunakan hak konstitusionalnya untuk memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Mereka adalah dua tokoh publik yang sebelumnya divonis bersalah dalam kasus korupsi.
Keputusan Kepala Negara ini telah mendapatkan persetujuan DPR sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang mencerminkan kewenangan presiden untuk dapat melakukan campur tangan ketika vonis hakim telah berkekuatan hukum tetap demi kepentingan yang lebih besar dan strategis demi stabilitas dan kondusivitas bangsa dan negara.
Dari keputusan Presiden Prabowo yang tidak diprediksi sebelumnya oleh pengamat, pakar dan elit politik sekali pun, kini menimbulkan diskursus maupun sorotan kritis tentang potensi politisasi hukum dan ancaman terhadap prinsip keadilan.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH. MH menjelaskan bahwa abolisi adalah tindakan presiden untuk menghentikan proses hukum pidana terhadap seseorang. Hal ini disebabkan karena terpidana dinilai tidak bersalah dan tidak layak diadili, apalagi dihukum.
“Inti pesannya adalah pencegahan (preventif), menghapus status hukum seseorang dari tuduhan sebelum hukuman dijalankan,” kata Prof Henry .
Sedangkan amnesti berfokus pada pengampunan terhadap kesalahan yang sudah terbukti, bahkan menghapus catatan hukum pidana setelah proses hukum selesai. Amnesti bersifat retrospektif, sering kali diberikan untuk kejahatan politik atau kasus yang berkaitan dengan konflik negara, bukan tindak pidana berat seperti korupsi.
Maka, kata Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini keputusan Presiden Prabowo tersebut memang sah secara konstitusional, namun tidak luput dari kritik. Prof Henry menegaskan bahwa abolisi seharusnya didasarkan pada kepentingan umum, bukan motif pribadi atau politis.
“Amnesti memerlukan persetujuan DPR sehingga tidak selayaknya diberikan untuk kasus korupsi, karena berisiko mencederai prinsip equality before the law,” tegasnya.
Menurut Prof Henry, langkah ini bisa memunculkan persepsi negatif di masyarakat, seperti anggapan bahwa hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas.
“Lebih jauh, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan berpotensi terkikis, erutama jika abolisi dan amnesti dianggap sebagai alat politik untuk melindungi tokoh-tokoh tertentu yang dekat dengan kekuasaan,” urainya.
Dalam konteks demokrasi, Penasihat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini menekankan pentingnya keadilan substantif yaitu keadilan yang benar-benar dirasakan masyarakat. Bukan keadilan prosedural yang sekadar memenuhi aturan formal.
“Presiden, sebagai pemegang hak prerogatif, harus sangat berhati-hati agar keputusan ini tidak dianggap sebagai balas budi politik atau transaksi elite,” kata
Dukung Keputusan Presiden
Meski demikian, Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini tetap menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Presiden Prabowo, dengan catatan bahwa setiap langkah harus berpijak pada konstitusi, kepentingan nasional, dan komitmen terhadap supremasi hukum.
Publik, berhak melihat bahwa keputusan ini bukan sekadar simbolisme hukum, melainkan cerminan dari keadilan yang lebih besar.
“Dalam The Republican, filsuf Yunani kuno, Plato menyebutkan bahwa keadilan dalam kehidupan dan perilaku negara hanya mungkin terjadi jika hukum tidak menjadi alat bagi mereka yang berkuasa untuk memenuhi kepentingan pribadi,” terang Ketua DPP Ormas MKGR ini.
Pesan Plato dinilai relevan dengan situasi saat ini, di mana kewenangan seperti abolisi dan amnesti dapat menjadi pedang bermata dua.
“Satu sisi, mampu menyelesaikan konflik atau menegaskan kewenangan presiden, sisi lain, berisiko menimbulkan spekulasi bahwa hukum telah dipolitisasi untuk melindungi segelintir elite,” beber Waketum DPP Bapera dan Ketua LBH DPP Bapera ini.
Pada akhirnya, imbuh dia, keputusan Presiden Prabowo ini menjadi ujian bagi komitmennya terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Dukungan terhadap langkah ini patut diberikan, sepanjang keputusan tersebut benar-benar bertujuan untuk kepentingan nasional dan bukan sekadar manuver politik.
“Kewaspadaan tetap diperlukan agar hukum tidak kehilangan wibawanya, dan keadilan tetap menjadi tujuan utama di Republik ini,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.