Berita Golkar – Tanggal 10 Agustus 2024, Airlangga Hartarto mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar masa bakti 2019-2024. Selama tujuh tahun menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar (dua tahun, 2017-2019, jadi PLT Ketua Umum), Airlangga berhasil meningkatkan perolehan kursi bagi Partai Golkar.
Berbeda dengan Setya Novanto, Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2016-2019 hasil Munaslub Rekonsiliasi, Airlangga mengundurkan diri tanpa status apapun di luar. Sebagai tersangka, misalnya. Sesuai keputusan Munas 2019, tinggal 4 bulan masa jabatan.
Hingga sehari setelah pengunduran diri, informasi baru bocor ke kalangan pers. Video pengunduran diri versi tanpa editan, bertebaran. Ada yang berdebat, siapa sosok yang menjadi ‘pengarah suara’ Airlangga dalam video itu. Dan tentu, tafsiran dari pernyataan yang disusun sangat sempurna dalam video itu.
Saya sendiri tertegun dengan ‘pidato singkat’ perpisahan yang disampaikan, tanpa sama sekali peduli kepada ‘kekuatan eksternal’ yang memaksa Airlangga mengundurkan diri. Pidato yang tentu tak sedahsyat pidato ‘Apologia’ Socrates yang dicatat Plato, sebelum meminum racun ular.
Usai Pilpres 2019, tugas yang saya minta kepada Airlangga, yakni menulis buku biografi pribadinya. Dua tahun komunikasi, termasuk dalam masa COVID, huruf demi huruf saya susun menjadi kata dan kalimat. Terkadang, saya ikut perjalanan Airlangga ke daerah-daerah.
Dalam kesempatan itu, saya mengajukan pertanyaan guna menambah tebal buku yang saya tulis itu. Pertanyaan yang saya ajukan lewat Whatsapp, selalu dijawab dengan lumayan panjang. Dan sekalipun saya tidak ikut, napak tilas Airlangga ke sejumlah area, membantu saya dalam menulis. Termasuk ketika mendatangi rumah kost-annya di Yogyakarta bersama Nurul Arifin. Tentu saja, perjalanan ke sejumlah makam keluarga, saya ikuti juga.
Namun, masalah terbesar saya tentu saja tak berhasil mendapatkan siapa saja yang perlu saya wawancarai. Semangat ‘menikam jejak, mencari cerita’ tak bersambut, seiring dengan pergantian posisi Airlanngga dan peningkatan waktu dan beban kerja di kementerian.
Buku yang saya tulis dengan judul ‘Kronik Airlangga Hartarto’ itu baru selesai dua bab. Sama sekali belum masuk kepada cerita tentang Airlangga, tetapi generasi kakek-nenek dan ayah-ibunya. Ketika bab tiga sudah dimulai, beban kerja mengatasi Covid 19 makin berat. Dan Airlangga sempat menegur saya, kenapa dua bab naskah itu sudah beredar.
Sebagai penulis, di benak saya, proses editing itu ada dalam tahap akhir. Rupanya, ketika saya kirimkan ke orang yang terbatas, agar dapat ‘bantuan’ guna menghubungi nama-nama yang perlu saya lacak, ‘konflik semiotika’ sudah dimulai. Hubungan Airlangga dengan Laksamana Sukardi dan Wina Armada, misalnya, sebagai sepupu kandung, bagi sebagian ‘pembisik’ justru bersifat negatif.
Ketika menerima Vaksin Nusantara dari Letjen (Purn) Terawan di RSPAD, saya menyampaikan chat kepada Airlangga.
‘Melki Laka Lena banyak ditanya anggota DPR, Tum. IJP hadir dalam kapasitas apa? Kenapa lebih duluan? Tidak tahu mereka, IJP kiriman Istana Negara,’ begitu kira-kira yang saya tulis.
Airlangga langsung mengirimkan gambar bendera Merah Putih. Saya balas, ‘Merdeka 100% dalam vaksin.’ Sebab, saya tahu betul, bagaimana kondisi Airlangga ketika mendapatkan serangan COVID 19, bersebelahan dengan ruangan Surya Paloh. Tapi, tak ada satupun informasi itu beredar di media.
Tidak bisa dibayangkan, goncangan ekonomi apa yang terbawa, ketika Menko Perekonomian yang menjadi ketua penanggulangan dampak ekonomi COVID 19, justru terkapar. Ketika Airlangga berhasil melewati masa krisis, Terawan langsung memotong seekor kerbau di Yogyakarta. Dari pembicaraan saya dengan staf ahli Terawan, disebutkan: ‘Ketum Air;langga sangat menyokong kehadiran Vaksin Nusantara!’
Semangat itu saya dapatkan dari chatting dengan Airlangga, begitu juga dengan Bang Aburizal Bakrie yang juga menggunakan Vaksin Nusantara. Tentang Vaksin Nusantara, saya lebih banyak bercerita dengan Bang ARB, termasuk ‘energi baru’ yang terasa di tubuh.
‘Bang, energi saya menjadi dua kali lipat sekarang,’ kata saya. Energi yang justru terjadi ketika saya terkurung di Markas Gerilyawan, tak bisa kemana-mana.
‘Ndra, bener lu. Gua ke luar negeri juga pakai sertifikat Vaksin Nusantara’ kata ARB.
Singkat cerita, kesempatan mendapatkan Vaksin Nusantara saya gunakan untuk menghantam seluruh stakeholders di Indonesia yang saya sebut sebagai komprador dari kaum kapitalis paling parlente: World Health Organization (WHO). Seluruh video aktivitas itu saya taruh di akun Youtube pribadi, sebagai bagian dari ‘catatan harian’ dalam bentuk video pendek.
Andai proyek Vaksin Nusantara mendapatkan daya dukung minimal saja, saya berpikiran betapa persoalan Ibu Kota Nusantara tak bakal sesulit kini dalam hal penyampaian kepada publik. Vaksin Nusantara adalah ‘lanjaran’ ke arah Ibu Kota Negara.
Belum lagi organisasi sosial kemasyarakat Sang Gerilyawan Nusantara yang kami bentuk, setelah beralih rupa dari Sang Gerilyawan Jokowi yang sangat aktif dalam Pilpres 2019, bisa fokus kepada dua-tiga subjek. Apa daya, sebagai ahli di bidang komunikasi 9dengan kridensial sebagai Magister dari UI) yang tiap hari jua membuka buku, saya tak paham metode, struktur, pola, atau strategi komunikasi Ibu Kota Nusantara. Hingga sekarang – pun nanti – sangat berantakan.
Tetapi yang terpenting dari itu, seiring dengan tingkat kepulihan kesehatan Airlangga yang sempurna – diluar latihan rutin Wushu – kelanjutan buku Kronik Airlangga tak ada lagi. Sejak awal memang tidak ada kontrak kerja, berbeda dengan buku-buku biografi tokoh lain yang saya tulis.
Tentu, sangat mahal bagi ukuran penulis Indonesia. Tetapi dengan cara itu saya memilih, bahkan ketika peradaban buku memunah di negeri ini. Sekalipun beberapa kali ikut kunjungan Airlangga, bertemu di kantor, diskusi di mobil, hingga rumah dinas, sama sekali saya melihat buku itu tak hendak diselesaikan.
Kepada orang terdekat, saya berkata; ‘Berarti, Airlangga tidak akan maju baik sebagai Calon Presiden, apalagi Calon Wakil Presiden.’
Ketika Airlangga maju dalam Munaslub Rekonsiliasi di Bali 2016 dan Munaslub Jakarta 2017, saya bersama tim selalu terbitkan satu buku. Munas Jakarta 2019 saja yang tak terbitkan buku. Dalam pikiran saya, jika buku ‘Kronik Airlangga’ selesai, ada simulacra teruar ke publik, apapun nanti tafsiran orang, tentu dalam bagian-bagian yang sudah dipisah-pisah: propaganda, biografi, hingga testimoni. Buku itu tak selesai, manakala kesibukan Airlangga makin menumpuk, dan serangan hitam, hijau, merah, hingga pelangi, selalu muncul setiap saat.
Artinya, guna menghadapi Pilpres 2024, saya sedari awal sudah tahu, tanpa dikasih tahu, kalau Airlangga tidak akan maju. Saya tentu menafsirkan dari pola tindak Airlangga. Bahkan, ketika bertemu tanggal 21 April 2024, hari Ganjar Pranowo dideklarasikan, di rumah dinas, saya hanya bercanda bahwa pasangan Prabowo-Airlangga akan menang pada putaran kedua. Sejak saat itu, saya semakin sibuk di DPD Partai Golkar DKI Jakarta, termasuk dalam mengurus pencalonan saya yang berlumur KTP warga guna menjadi Nomor Pokok Anggota Partai Golkar. Setiap hari, seluruh keluarga besar, terutama Ibu Negara saya, mencari KTP dari warga.
Dan sampailah ketika saya mendengar pidato ‘apologia’ Airlangga, kala mengundurkan diri dari Partai Golkar. Berbeda dengan Apologia Socrates yang banyak ‘berseberangan’ dengan elite Yunani kala itu, dan sedikit saja memberikan ‘semangat’ kepada murid-muridnya yang sering berjumpa di bawah Pohon Academia sebagai ‘alasan’ Socrates disidang – diadili – dihukum, Airlangga justru sebaliknya.
Ia lebih banyak bicara tentang Partai Golkar. Soliditas. Transisi pemerintahan. Andai saya masih menjadi Panglima Korsa Airlangga, sudah pasti satu atau dua ban bakal saya bakar di halaman kantor DPP Partai Golkar, lalu berorasi atau berpuisi di hadapan para anggota. Sesuatu yang dilakukankawan saya, Andi Arief, ketika berhadapan dengan ‘kudeta’ Jenderal (Purn) Dr Moeldoko, senior saya di UI.
Tetapi, begitulah, Airlangga tak pernah menyampaikan keluhan kepada siapapun. Walau, ia sering menegur saya guna menghapus tulisan saya di faceebok, video di tiktok, apalagi cuitan ‘bom’ di twitter (X). Airlangga sebagai pemimpin, punya satu hak atas saya: memberikan perintah. Walau ketika bertemu seringkali berdebat, tetapi dalam hal apapun, sebagai anggota partai, hak Airlangga atas saya hanya satu itu: memberi perintah.
Walau saya menggerutu, sering bicara berjam-jam kepada istri, betapa ‘tololnya IJP dengan menjadi anggota partai’, tetap saja di publik saya tak menunjukan perlawanan. Sebab, itu tadi, Airlangga terlalu banyak tugas. Ilmu ekonometri di kepalanya bisa binasa, gegara saya tak menghapus tulisan di facebook atau twitter.
Sebagaimana saya, Airlangga juga menunjukkan diri sebagai loyalis hebat terhadap Presiden Joko Widodo. Bahkan, aktivitas politik yang membuat sejumlah senior berbisik ke saya: ‘Gue malu, Ndra.’ Apalagi kalau bukan dalam mengusung Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, hingga ‘menyetarakan’ Kaesang Pangarep bak Ketua Umum partai politik legendaris dengan massa raksasa.
Jadi, tidak ada apa-apanya seluruh ‘perjalanan tegak lurus’ saya terhadap Partai Golkar dan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum, yang pahit-getirnya hanya diketahui oleh istri atau dua-tiga orang kawan saya sejak di kampus Universitas Indonesia, dibandingkan dengan seluruh masyarakat tahu perilaku ‘tak intelek’, tak ‘ikrar Panca Bakti’ dan lain-lain yang ditunjukan Airlangga dengan penuh ta’zim kepada Presiden Joko Widodo, dan keluarganya.
Karena itu, tak ada tangis ketika Airlangga mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.
‘Yang penting, AH tidak mengundurkan diri sebagai Caketum DPP Partai Golkar,’ begitu yang saya tulis di chat terakhir, tadi malam.
Markas Gerilyawan, Selasa, 13 Agustus 2024
Oleh Indra J Piliang
Mantan Panglima Korps Armada Selatan (Korsa) Airlangga