DPD 1  

Armin Mustamin Tegaskan Ketua Partai Golkar Sulsel Tak Harus Berstatus Kepala Daerah

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), default quality

Berita Golkar – Partai Golkar Sulawesi Selatan mulai menghangat. Namun dibalik dinamika yang memanas, Wakil Ketua Bidang Organisasi DPD I Partai Golkar Sulsel, Armin Mustamin Toputiri, menegaskan pentingnya menjadikan Musda sebagai proses pendewasaan politik, bukan sekadar ajang perebutan kursi.

Dalam pernyataannya, Armin mengkritisi pandangan yang menganggap posisi Ketua DPD Golkar Sulsel harus dipegang oleh kepala daerah. Baginya, hal itu adalah mitos yang tidak relevan dengan semangat organisasi modern dan demokratis.

“Kalau dikatakan tradisi Golkar itu ketuanya harus kepala daerah, saya kira itu hanya kebetulan. Tidak ada aturan yang mengharuskan itu. Golkar tidak butuh orang kaya atau penguasa untuk jadi ketua,” tegas Armin dalam Ngobrol Politik (Ngopi) di studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (10/6/2025),  dikutip dari TribunTimur.

Dalam sejarah Golkar, Amin Syam pertama kali menjadi ketua saat menjabat sebagai ketua Golkar Sulsel. Sementara itu, Nurdin Halid menjadi Plt ketua Golkar Sulsel saat tak ada jabatan publik.

Golkar Tak Butuh Figur Kaya dan Berkuasa

Armin menyatakan bahwa Partai Golkar adalah partai mapan yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Dukungan dana partai dari negara, yang kini telah meningkat hingga Rp5.000 per suara di Sulawesi Selatan, cukup untuk menopang program dan kebutuhan organisasi.

“Dengan dana bantuan parpol yang sudah naik, kita bisa membangun organisasi tanpa bergantung pada kekuatan finansial pribadi pengurus. Yang dibutuhkan adalah kapasitas, integritas, dan komitmen terhadap partai,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa perhatian media justru menguntungkan, menandakan bahwa Golkar tetap menjadi magnet politik. “Golkar itu tidak perlu cari-cari berita. Dia adalah berita itu sendiri. Baru dua bulan menjelang Musda, media sudah heboh. Ini menunjukkan betapa dinamis dan hidupnya Golkar,” ujarnya.

Menurutnya, dinamika internal seperti konflik, tarik-ulur dukungan, dan manuver kandidat adalah hal wajar dalam tradisi politik Golkar yang menganut prinsip “si vis pacem, para bellum”, jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang.

“Golkar adalah partai tua. Tradisinya sudah mapan. Pertarungan keras itu bagian dari proses menuju kompromi. Kalau tak ada pertarungan, apa yang mau dikompromikan?” katanya.

“Kami butuh figur pemersatu. Golkar harus tetap solid setelah Musda. Jangan karena kalah bertarung lalu pindah partai. Itu bukan kultur kita,” pungkasnya.

Perebutan posisi Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Selatan semakin menghangat. Sejumlah tokoh besar disebut-sebut sebagai kandidat kuat, di antaranya Munafri Arifuddin, Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Adnan Purichta Ichsan, Samsuddin Hamid, hingga Andi Ina Kartika Sari.

Pengamat politik, Dedi Alamsyah Mannaroi, menilai ada sejumlah dinamika internal dan syarat-syarat tak tertulis yang menjadi faktor krusial dalam penentuan siapa yang akan menduduki kursi panas tersebut.

“Yang pasti, menurut saya, salah satu syarat tak tertulis untuk menjadi Ketua Golkar Sulsel adalah harus dekat dengan Ketua Umum,” ujar Dedi.

Ia menekankan bahwa kedekatan personal dengan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, akan menjadi kunci penting dalam mengamankan posisi strategis itu.

Lebih jauh, Dedi menegaskan bahwa ada semacam gengsi di internal Golkar terkait posisi ketua DPD I yang biasanya diisi oleh kepala daerah aktif. “Kalau pun tidak tertulis, gengsinya ada. Dan itu selama ini seperti menjadi ‘pakem’,” ungkapnya.

Dalam hal ini, Adnan yang sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah dinilai kurang memenuhi ekspektasi tersebut, meskipun ia dikenal sebagai kader berdarah “kuning murni”. “Keluarga Adnan itu berasal dari Golkar, kakek, nenek, dan ayahnya adalah kader Golkar sejati,” katanya.

Nama lain yang disinggung Dedi adalah Andi Ina Kartika, Bupati baru yang juga mantan Ketua DPRD Sulsel. “Kenapa tokoh perempuan ini tak dilirik? Golkar belum pernah punya ketua DPD I perempuan. Kenapa tidak coba saja? Kartika itu punya pengalaman, tahu bagaimana mengelola banyak kepentingan,” ucapnya.

Meski demikian, Dedi menyayangkan jika pemilihan Ketua Golkar nanti hanya dijadikan formalitas belaka. Ia menolak wacana aklamasi tanpa kompetisi. {}