Berita Golkar – Partai politik merupakan pilar penting dalam kehidupan negara demokrasi. Di sanalah rakyat mengasosiasikan diri dalam keterlibatannya mengurus negara. Partai politik dapat dikatakan sebagai cerminan segmentasi ideologis dan stratifikasi dalam masyarakat yang majemuk.
Sejak awal berdiri, partai politik mengemban tugas sebagai media penyalur, penyeleksi, dan pendorong aspirasi rakyat menjadi kebijakan negara. Kepentingan individu, kelompok, dan golongan yang bersifat subjektif disublimasi menjadi kepentingan publik yang objektif—menjadi kemaslahatan umum, baik untuk rakyat maupun negara.
Di sinilah urgensi partai politik menjadi kekuatan rasional yang mampu mengartikulasikan ragam kepentingan warga, menjaga dialektika masyarakat tetap berada di ranah produktif. Jangan sampai sebaliknya—terjadi anarki bahkan kekacauan (chaotic) akibat beragam kepentingan yang saling bertabrakan, mengguncang sendi kehidupan bernegara yang tengah menjalankan program pembangunan. Negara membutuhkan stabilitas agar bisa bekerja secara rasional, melayani rakyat, dan menjaga eksistensinya.
Tentu saja, sebelum berperan secara efektif dalam konstelasi politik nasional, sebuah partai politik harus berada dalam kondisi sehat, bugar, dan selalu siap mengemban peran sebagai kekuatan civil society—penghubung antara rakyat dan negara. Partai politik yang sehat tidak hanya aktif menjelang pemilu, tetapi terus bekerja sepanjang waktu.
Sebab sejatinya, pemilu hanyalah momen take-off of legitimation dan judgment of legitimation. Legitimasi memang penting, tetapi bukan yang utama dalam keseluruhan tujuan bernegara dan berpartai. Yang utama adalah keberlangsungan peran partai sebagai pelayan rakyat.
Negara—demikian pula partai politik—harus hadir dalam denyut nadi kehidupan rakyat. Setelah rakyat memberikan legitimasi, maka tugas para elite adalah memberikan hak pelayanan kepada rakyat. Keseimbangan semacam ini berdampak langsung pada lahirnya kehidupan politik yang sehat, menjaga kepercayaan publik, dan menghadirkan politik dalam wujud yang diharapkan rakyat.
Maurice Duverger, seorang sosiolog politik, menegaskan adanya siklus dalam kehidupan politik: konflik, kompromi, konsensus. Dari perbedaan yang tajam, harus ditemukan kompromi dan akhirnya konsensus. Di situlah dinamika menjadi produktif—melahirkan kebersamaan dan tekad bersama untuk terus berperan dan membangun. Keragaman menjadi energi positif untuk membangkitkan elan vital dalam menjalankan amanah suara rakyat.
Partai politik tidak bisa terus bergumul dalam perbedaan tajam dan mengabaikan kebersamaan dalam memperkuat perannya di kehidupan nasional. Jika itu terjadi, partai hanya akan tumbuh dalam kubangan perselisihan dan menjadi arena tinju politik yang menghancurkan organisasi. Rakyat pasti akan jengah terhadap situasi seperti itu.
Karena itu, partai harus mampu mengelola dirinya sendiri, menjadi ruang sehat bagi dinamika internal tanpa melewati batas yang destruktif. Sebab, kondisi semacam itu bukan hanya merugikan rakyat yang telah memberikan mandatnya, tetapi juga meruntuhkan organisasi partai, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Geopolitik global yang mengalami shifting turut memengaruhi geopolitik regional, membawa dampak luas di berbagai aspek. Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus terus tumbuh dan bertahan (survive) di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian.
Hal yang sama ditegaskan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang mengubah jargon partai dari “Suara Golkar, Suara Rakyat” menjadi “Suara Rakyat, Suara Golkar”. Penekanannya jelas: kehendak rakyat adalah pijakan utama. Dari rakyat berasal, untuk rakyat pula kembali.
Bahlil menunjukkan himmah (semangat tinggi) dalam membawa Partai Golkar menjadi ruang tumbuhnya energi kerakyatan dalam proses kebijakan pembangunan. Partai harus sehat dan fleksibel, terjun langsung ke masyarakat dengan falsafah Karya Kekaryaan.
Sebuah keniscayaan adalah terbentuknya organisasi yang sehat, inklusif, dan adaptif. Inisiasi pembaruan mulai digulirkan dalam berbagai aspek: penataan organisasi, kaderisasi, regenerasi, hingga partisipasi dalam mekanisme internal. Meskipun belum bersifat radikal—dan memang tidak selalu harus ekstrem—transformasi tersebut kini tengah berjalan.
Namun, Bahlil sangat menyadari pentingnya soliditas internal dalam menata organisasi. Sebab kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari manajemen organisasi, terutama di partai seperti Golkar yang sejak awal bersifat terbuka dan majemuk.
Hadirnya seorang pemimpin terkait erat dengan struktur dan dinamika organisasi. Tanpa dukungan manajemen organisasi yang solid, inklusif, dan progresif, seorang pemimpin akan kelelahan dalam mengusung pembaruan.
Oleh: Wakil Sekjen DPP Partai Golkar, M Shoim Haris