Berita Golkar – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan survei Litbang Kompas pada 19-21 Juni 2023 mencatat sekitar 56 persen responden merasa khawatir terjadinya keterbelahan dan polarisasi rakyat pada Pemilu 2024. Jajak pendapat Kompas pada akhir Mei 2022 juga menunjukkan sekitar 70 persen responden merasa khawatir bahwa polarisasi rakyat yang terjadi pada Pemilu 2019, yang melahirkan “dikotomi” cebong dan kampret, akan kembali terulang pada Pemilu 2024.
Bamsoet menekankan, agar kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan, maka seluruh elemen bangsa harus aktif menyuarakan dan menjaga kondusifitas bangsa. Mengingat penyelenggaraan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari, tepatnya 83 hari lagi dari sekarang.
Untuk mewujudkan Pemilu yang Damai dan Bermartabat, kita dapat merujuk pada beberapa indikator. Antara lain, netralitas TNI-Polri dan ASN, tingkat pelanggaran Pemilu yang rendah, tidak ada intimidasi dan diskriminasi, tidak mencederai nilai-nilai demokrasi serta meningkatnya literasi politik dan rasionalitas pemilih.
“Selain itu, kita juga harus meminimalisir faktor risiko mulai dari penyediaan dan distribusi logistik Pemilu, hingga keselamatan panitia penyelenggara Pemilu. Sehingga Pemilu 2024 bisa dijalankan dengan riang gembira, bukan dengan penuh permusuhan dan kebencian. Apalagi sampai membuat perpecahan kebangsaan,” ujar Bamsoet dalam Silaturahmi Nasional Anak Bangsa Tahun 2023, di kantor Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI), Jakarta, Kamis, 23 November 2023.
Turut hadir antara lain Anggota Dewan Pertimbangan Presiden sekaligus Pembina Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) Irjen Pol (Purn.) Sidarto Danusubroto, Komisioner KPU Idham Cholik, Ketua Umum FSAB Suryo Susilo, Dankodiklat TNI AD Letjen TNI Eko Margiyono, serta Plh. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Togap Simangunsong.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, harus diakui ada kecenderungan kenaikan jumlah pelanggaran Pemilu. Pada Pemilu 2014, jumlah pelanggaran Pemilu mencapai 10.754 kasus, dan naik menjadi 15.052 kasus pada Pemilu 2019, yang sebagian besarnya adalah masalah administratif. Pada Pemilu 2019, pelanggaran kasus pidana Pemilu tercatat sebanyak 348 kasus, atau meningkat 58,3 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2014.
“Peningkatan jumlah pelanggaran tersebut, dapat dimaknai dari dua sudut pandang. Bisa jadi pengawasan BAWASLU semakin ketat sehingga semakin banyak kasus pelanggaran yang terungkap atau pelanggaran Pemilu masih dianggap lumrah dan sanksi yang diberikan belum cukup memberikan efek jera. Kita berharap, di Pemilu 2024 nanti pelanggaran Pemilu baik dari sisi administrasi maupun pidana bisa diminimalisir,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila serta Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, dalam penyelenggaraan Pemilu, harus ada jaminan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan akses informasi seluasnya, bukan informasi yang sudah terkooptasi, atau dimonopoli oleh kepentingan politik tertentu.
Pemilu sebagai implementasi demokrasi, juga harus diselenggarakan dengan tidak mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Merujuk pada laporan the Economist Intelligent Unit yang dirilis pada Februari 2023, indeks demokrasi Indonesia berada pada skor 6,71 atau mengalami stagnasi dari tahun sebelumnya.
“KPU telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Sebanyak 56 persen diantaranya, atau sekitar 114 juta pemilih adalah generasi muda pada kisaran usia 22 hingga 30 tahun, separuh diantaranya adalah pemilih pemula. Artinya, kualitas hasil Pemilu 2024 juga akan ditentukan oleh tingkat rasionalitas dan kematangan politik dari para pemilih muda dan para pemilih pemula, dalam menggunakan hak pilihnya,” pungkas Bamsoet. {sumber}