Bamsoet Dorong Penerapan Prinsip ‘Ultimum Remedium’ Optimalkan Pemberantasan Korupsi

Berita Golkar – Ketua MPR RI sekaligus dosen tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan masalah korupsi sudah menjadi extra ordinary crime atau ‘kejahatan luar biasa’.

Karena memiliki dampak luas yang membahayakan tidak saja keuangan negara, perekonomian negara, tetapi juga bagi keberlangsungan kehidupan negara dan kehidupan sosial. Karenanya, upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi menjadi luar biasa.

Saat ini, upaya pemberantasan korupsi dengan penjatuhan hukum pidana penjara dan denda sebagai subsidair, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, tidak efektif dan masih menyisakan polemik atas kerugian negara yang tidak kembali atau tidak sesuai dengan kerugian yang ditanggung negara.

Sulitnya pengembalian kerugian negara karena ketidaksesuaian antara nilai kerugian negara akibat korupsi dengan jumlah pengembalian kerugian negara oleh koruptor.

“Penanganan kasus korupsi di Indonesia masih mengedapankan prinsip primum remedium yang menjadikan sanksi pidana sebagai pilihan utama yang menitikberatkan pada hukuman badan atau penjara bagi pelaku korupsi. Namun Hukum pidana belum berkontribusi secara signifikan terhadap recovery asset,” ujar Bamsoet dikutip dari Detik, Minggu (8/9/2024).

“Sebagai contoh, dari 1.218 perkara korupsi baik yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, dengan total 1.298 terdakwa dan perkiraan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun dan nilai suap mencapai Rp 322,2 miliar. Ternyata pengembalian kerugian negaranya hanya Rp 19,6 triliun,” sambungnya.

Hal itu disampaikan Bamsoet saat menjadi penguji internal Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, berjudul ‘Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remedium. Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara’, di Universitas Borobudur Jakarta, Minggu (8/9/2024).

Hadir sebagai penguji antara lain Ketua Dewan Penguji Prof. Bambang Bernanthos, penguji eksternal Jaksa Agung Muda Intelijen Prof Dr Reda Manthovani, Promotor Prof Surya Jaya, Ko-Promotor Prof Faisal Santiago, penguji internal Prof Ade Saptomo, dan Dr Ahmad Redi.

Bamsoet menguraikan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam periode 2013-2022 mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 238,14 triliun. Sementara pada tahun 2023, ICW mencatat terdapat 791 kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun.

“Di tahun 2023 tersebut, sejumlah pihak berhasil melakukan pengembalian kerugian keuangan negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui melakukan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp 526 miliar, Polri sebesar Rp 909 miliar, serta Kejaksaan sebesar Rp 13,1 miliar dari denda, Rp 211,4 juta dari uang pengganti, Rp 1,5 miliar dari hasil lelang, dan Rp 671.500 dari biaya perkara,” urai Ketua DPR RI ke-20 tersebut.

Bamsoet sepakat dengan Sahroni pemberlakuan mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara daripada sanksi pidana, penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut tidak hanya dapat memastikan keadilan bagi negara dan masyarakat, tetapi juga menjadi bentuk efektivitas dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Penerapan prinsip ultimum remedium yang mengisyaratkan bahwa hukum pidana dijadikan sebagai opsi atau pilihan terakhir (bukan pilihan utama), menjadi penting jika sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mampu dijadikan instrument penyelesaian. Lebih dari itu, Formulasi baru dalam penanganan kasus korupsi terkait pengembalian kerugian keuangan negara dapat mengadopsi aspek-aspek dalam Undang-Undang Perpajakan mengintegrasikan prinsip-prinsip dari berbagai undang-undang yang relevan, serta memberikan dukungan dan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pencegahan dan penindakan korupsi,” kata Ketua Dewan Pembina Depinas Ormas Pendiri Partai Golkar SOKSI tersebut.

“Ini akan membantu meningkatkan keberhasilan upaya dalam pemberantasan korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara dengan lebih efektif,” sambungnya.

Bamsoet memaparkan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menyediakan mekanisme untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat korupsi. Namun, implementasinya masih terbatas dan tidak optimal.

Akibatnya, seringkali pengembalian kerugian keuangan negara hanya dilaksanakan sebagai formalitas belaka.

“Untuk itu diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan implementasi mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara. Termasuk perlunya dukungan dan koordinasi yang kuat antar lembaga penegak hukum yang terlibat dalam pencegahan dan penindakan korupsi untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi melalui pengembalian kerugian keuangan negara,” pungkasnya. {}