Berita Golkar – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Dosen Tetap Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan dan Universitas Jayabaya Bambang Soesatyo mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) harus kembali ke jalur konstitusional sebagai negative legislator, bukan positive legislator yang menciptakan norma hukum baru.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pembagian kewenangan antara lembaga-lembaga negara telah diatur secara tegas dalam UUD 1945. Kewenangan membentuk dan mengubah norma hukum secara eksklusif berada di tangan DPR bersama Pemerintah. Sementara MK hanya diberi kewenangan menyatakan suatu norma dalam undang-undang apakah bertentangan dengan UUD 1945, bukan menciptakan norma baru.
“Dalam beberapa putusan uji materiil, MK ternyata tidak hanya menyatakan norma yang ada apakah bertentangan dengan UUD 1945, melainkan juga menetapkan norma baru. Semisal, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisah antara Pemilu pusat dan Pemilu daerah. Ini bukan lagi pengujian norma, ini penciptaan norma dan itu melampaui kewenangan MK,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji dalam ujian sidang tertutup mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur Achmad Taufan Soedirdjo, dengan Judul “Rekonstruksi Rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Panel Ahli Melalui Lembaga Perwakilan”, di Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (22/7/25).
Hadir sebagai penguji antara lain Ketua Sidang Prof.Bambang Bernanthos, Promotor Prof.Zainal Arifin Hoesein, Ko-Promotor Dr.Ahmad Redi, Penguji Internal Prof.Faisal Santiago, serta Penguji Eksternal Prof.Ibnu Sina Chandranegara.
Achmad Taufan Soedirjo sendiri adalah pengurus DPP Partai Golkar yang juga Waketum DPP Ormas MKGR. Taufan juga adalah praktisi hukum dan advokat di ATS Law and Firm.
Ketua DPR ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini memaparkan, dalam putusan No. 135/PUU-XXII/2024, MK tidak hanya menetapkan waktu penyelenggaraan Pemilu secara terpisah, tetapi juga menentukan tenggat waktu maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan DPR, untuk menggelar Pilkada dan Pileg DPRD. Hal tersebut menjadi norma baru yang tidak memiliki dasar perundang-undangan sebelumnya dan belum pernah dibahas serta disetujui oleh lembaga legislatif.
“Ini bukan hanya soal teknis pemilu. Ini menyangkut legitimasi kelembagaan, stabilitas sistem hukum, dan kepercayaan publik terhadap proses pembentukan norma. Ketika lembaga peradilan masuk ke ranah legislasi, maka prinsip checks and balances menjadi kabur,” kata Bamsoet.
Waketum DPP Partai Golkar ini menegaskan, keputusan MK yang mengeluarkan norma baru telah menggeser peran konstitusional Mk dari pengawal konstitusi menjadi aktor pembentuk hukum atau dikenal sebagai positive legislator. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip pembagian kekuasaan yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C UUD 1945, yang menyatakan bahwa MK hanya berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga, membubarkan partai politik, dan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.
“Dalam sistem konstitusi kita, Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator. Artinya, ia hanya menyatakan suatu norma bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Jika dinyatakan bertentangan, norma tersebut tidak berlaku lagi, tetapi bukan berarti MK berwenang menyisipkan norma pengganti. Itu adalah domain legislasi, tugas dan tanggung jawab DPR dan Pemerintah,” tandas Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia INI.
Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini meminta MK melakukan kajian mendalam atas arah perannya selama ini. Kewenangan yang besar harus dibarengi dengan kesadaran konstitusional yang kuat, terutama dalam menjaga kemurnian peran sebagai penjaga konstitusi, bukan penafsir yang sekaligus pembentuk norma.
“Ke depan, MK harus menahan diri dan kembali pada jalur yang telah digariskan oleh konstitusi. Jika ada kekosongan hukum setelah suatu norma dibatalkan, maka biarlah DPR dan pemerintah yang menyusun norma baru sesuai prinsip demokrasi dan representasi rakyat. Jangan sampai kewenangan yudikatif masuk ke wilayah legislatif yang tidak menjadi bagiannya,” pungkas Bamsoet.