Berita Golkar – Upaya memperbaiki tata kelola sektor pertambangan kembali menjadi perhatian utama Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Dalam sejumlah agenda resmi partai dan pemerintah, ia menegaskan bahwa pembenahan perizinan hingga aspek keberlanjutan lingkungan merupakan langkah yang tidak bisa ditunda, terutama mengingat banyaknya izin tambang yang dinilai tidak produktif dan tidak memberi manfaat bagi daerah penghasil.
Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengaku sudah mencabut banyak izin usaha pertambangan (IUP) yang bermasalah.
“Sebagai Menteri ESDM, kami telah mengubah Undang-Undang Minerba. Sekarang, Pak Ketua DPD, banyak tambang-tambang yang kemarin saya cabut izin usahanya. Dan hampir sebagian besar perusahaan tambang itu kantornya ada di Jakarta,” ujar Bahlil dalam keterangannya, Selasa (2/12/2025).
Hal tersebut disampaikan Bahlil dalam arahannya di Musyawarah Daerah (Musda) III DPD Partai Golkar Kalimantan Utara, Minggu (30/11/2025).
Dia menyebut dua pilar utama perbaikan tata kelola tambang, yakni penertiban izin usaha yang tidak produktif dan kewajiban menjaga kelestarian lingkungan demi masa depan.
Banyak izin tersebut dikuasai oleh perusahaan yang berkantor di pusat, tanpa memberikan dampak signifikan bagi daerah penghasil tambang.
Selain penertiban administratif, Bahlil menekankan bahwa perbaikan tata kelola tidak bisa dilepaskan dari aspek keberlanjutan ekologis.
Jangan tinggalkan sejarah kelam
Bahlil menyampaikan, sebagai sosok pengusaha yang pernah berkecimpung di sektor pertambangan dan perkayuan, ia memahami betul dinamika di lapangan.
Hanya saja, sebagai pejabat negara, Bahlil mengingatkan bahwa eksploitasi sumber daya alam jangan sampai mengorbankan alam secara membabi buta.
Dia menegaskan tidak ingin meninggalkan sejarah kelam bagi anak dan cucu. “Dalam mengelola pertambangan, kita harus berwawasan lingkungan. Jangan lagi kita meninggalkan sejarah kelam bagi anak cucu kita,” katanya.
Lalu, Bahlil menyadari bahwa penerapan standar lingkungan yang ketat pasti akan menimbulkan dinamika dan tantangan baru bagi para pelaku usaha.
Meski demikian, ia meminta semua pihak menerima konsekuensi tersebut sebagai pilihan mutlak untuk melestarikan alam.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dan investasi tetap menjadi target, namun tidak boleh menihilkan tanggung jawab ekologis.
“Ke depan, berdasarkan pengalaman yang belum baik, kita harus menyempurnakannya. Ekonomi boleh kita dapatkan, tetapi lingkungan juga harus kita jaga. Semua ini adalah bagian dari usaha kita untuk mewariskan sesuatu yang lebih baik kepada anak cucu kita,” jelas Bahlil.
Di sisi lain, perbaikan tata kelola ini juga mencakup aspek keadilan sosial bagi pengusaha daerah.
Bahlil menyebut bahwa mekanisme lama yang rumit seringkali membuat pengusaha lokal kesulitan mendapatkan akses legal, sementara pengusaha pusat dengan jaringan kuat lebih mendominasi.
Dia menilai, kondisi inilah yang memicu ketimpangan ekonomi di daerah kaya sumber daya alam.
“Kalau ini tidak kita ubah, sampai ayam tumbuh gigi pun, keadilan sosial akan sulit kita wujudkan. Atas dasar pengalaman saya sebagai mantan pengusaha daerah yang merasakan sakitnya berjuang di Jakarta, diputar-putar, diminta syarat A, syarat B, syarat C, betapa susahnya,” kata Bahlil.
Koperasi hingga UMKM akan dapat izin tambang
Demi perbaikan tata kelola pertambangan, Bahlil melaporkan bahwa, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah telah merampungkan revisi regulasi, termasuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), hingga Peraturan Menteri.
Regulasi baru ini, kata dia, memberikan jalur prioritas bagi Koperasi, UMKM, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mendapatkan izin pengelolaan tambang tanpa harus melalui mekanisme tender yang memberatkan.
Sementara itu, Bahlil menekankan bahwa kebijakan afirmatif ini adalah bentuk keberpihakan nyata kepada daerah. Meskipun menuai pro dan kontra, ia meyakini langkah ini adalah jalan terbaik untuk merawat nasionalisme dan keadilan ekonomi.
“Ketika saya mengusulkan ini, banyak yang tidak suka. Karena mereka bukanlah orang daerah yang merasakan hati orang daerah. Yakin Bapak/Ibu, yang bisa memahami perasaan daerah adalah mereka yang terbentuk dan berproses dari daerah,” imbuh Bahlil.













