Berita Golkar – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang akan merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terus dimatangkan pembahasannya di Komisi I DPR RI.
Salah satu ketentuan yang akan diatur dalam revisi ini adalah mengenai pentingnya asas kesetaraan atau kesamaan antara lembaga penyiaran (media konvensional) dengan media baru atau media sosial dengan platform digital/online berbasis internet.
Penegasan disampaikan Anggota Komisi I DPR RI (Fraksi PKS) Abdul Kharis Almasyhari dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘Revisi UU Penyiaran Ciptakan Iklim Siaran Mengedukasi Masyarakat’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Menurut Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) itu, perlakuan yang sama berdasar asas kesetaraan antara media baru dengan media konvensional untuk memastikan agar media sosial ikut memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat.
“Dalam RUU Penyiaran ini kita melihat perlunya ada kesetaraan atau equalitas. Kesetaraan atau kesamaan yang saya sebut media baru karena dari sekian banyak media baru ini tidak perlu atau tidak menggunakan izin dan seterusnya,” sebut Kharis.
Diakui Kharis, ada perbedaan sangat mencolok dalam pengaturan 2 platform siara ini. UU Penyiaran yang ada saat ini hanya mengatur lembaga penyiaran konvensional seperti televisi baik TV publik (TVRI) maupun TV swasta. Banyak sekali pembatasan seperti waktu siaran, izin pendirian, keharusan membayar pajak dan sederat ketentuan lainnya.
Sedangkan siaran dalam bentuk streaming melalui beragam platform medsos seperti YouTube, Facebook, Twitter, Instagram atau siaran melalui aplikasi saat ini belum diatur. Siapapun bebas siaran menggunakan media baru tanpa pengawasan dan seleksi ketat.
“KPI pun tidak sampai ke sana (mengatur siaran streaming). Sehingga relatif tidak ada pemantauan isi siaran yang kadang justru mungkin akan membahayakan bagi ketika ditonton oleh masyarakat.
Apalagi ketika ditonton oleh anak-anak. Mereka (pembuat konten streaming) tidak membedakan lagi karena tidak bisa dikontrol dari sisi waktu penyiarannya,” terangnya.
Ia berharap jika pembahasan di Komis I DPR rampung, draf revisi RUU Penyiaran yang menjadi usul inisiatif DPR itu akan diajukan ke Presiden untuk kemudian menugaskan menterinya melakukan pembahasan bersama DPR RI.
Kharis menambahkan selain pengaturan media baru berbasis siara online, revisi UU Penyiaran juga mengatur tentang ketentuan multipleksing terkait pengaturan frekuensi siara TV.
Senada, Anggota Komisi I DPR lainnya, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan revisi UU Penyiaran bertujuan agar masyarakat yang mendapatkan konten siaran beragam bisa memperoleh kualitas berita atau siaran yang lebih baik.
“Itu nanti channel-channel yang ditambah itu ada edukasi, ada informasi, ada hiburan maupun juga hal-hal yang mengandung kearifan lokal,” ucap Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.
Selai itu, beragam informasi penyiaran karena kehadiran media baru atau medsos diharapkan mampu menumbuhkan minat juga motivasi masyarakat agar banyak mendapatkan ide-ide dan upaya peningkatan kesejahteraan di daerahnya masing-masing.
“Nah dalam hal digitalisasi ini tentu juga perlu diberikan penguatan penguatan terhadap elemen publik dalam mengawasi kontensialnya,” kata Bobby.
Diakuinya, kemajuan yang ditandai digitalisasi penyiaran perlu diatur ketat melalui UU Penyiaran yang lebih adaptif dan akomodatif untuk mendesimilasikan, mengaplikasi pesan-pesan sehingga masyarakat lebih bijak dalam menyaring informasi-informasi siaran untuk hal yang positif.
“Kami harapkan ini bisa diselesaikan dalam periodisasi 2019-2024 ini yang nantinya mampu menguatkan industri siaran yang produktif, juga edukatif dan informatif yang ujungnya adalah upaya peningkatan kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Kewenangan KPI Terbatas
Di forum sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Evri Rizqi Monarshi mengungkapkan salah satu yang menjadi perhatian KPI saat ini adalah terbatasnya kewenangan KPI dalam mengawasi dan melakukan pembinaan dan edukasi kepada para pembuat konten medsos atau media baru.
“Penguatan kelembagaan KPI juga sebagai regulator penyiaran belum optimal karena kewenangannya terbatas,” ujar Evri.
Minimnya kewenangan KPI itu, menurutnya membuat isi siaran dari media-media baru ini menjadi tidak terkontrol yang bukan tidak mungkin membuat media-media konvensional atau media yang sudah ada selama ini menjadi tergerus.
“Kami juga di KPI terus-menerus mengawasi tentu akan lebih terarah tapi bagaimana kemudian media-media baru ini, secara bersama harus dilakukan pengawasan yang lebih tegas terkait dengan regulasi,” pungkas Evri.
Diskusi juga menghadirkan Praktisi Media, Daniel Arifaini. {sumber}