Berita Golkar – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang senilai Rp 996 Miliar beserta logam mulia seberat 51 kilogram dari kediaman mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, beberapa waktu lalu. Kasus ini pun mendapatkan perhatian serius dari Politisi Golkar, Prof Henry Indraguna, SH. MN.
Prof Henry Indraguna menilai dengan ditetapkannya Zarof Ricar sebagai tersangka perantara suap dalam kasus Gregorius Ronald Tannur (31) mencerminkan bobroknya dunia peradilan di Indonesia.
Hal ini karena mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung ini diduga sebagai perantara atau makelar kasus antara pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dan hakim agung.
Zarof dibekali Rp 5 Miliar untuk diberikan kepada tiga hakim agung yang menangani kasasi Ronald Tannur. Zarof sendiri dijanjikan fee Rp 1 Miliar jika bisa melobi hakim agung membebaskan anak eks Anggota DPR Fraksi PKB, Edward Tannur tersebut di tingkat kasasi.
Menurut Prof Henry dengan penemuan uang yang diduga hasil pengurusan perkara itu menunjukkan bagaimana aparat memperjualbelikan vonis hukum dengan mengebiri rasa keadilan korban dan masyarakat.
“Pengungkapan uang sekitar Rp 1 Triliun di ZR ini menunjukkan betapa bobroknya dunia peradilan di Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam pendalaman dan penyidikan kasus ini ke depan, akan terkuak lagi siapa-siapa sebagai aktor praktik suap dan pihak yang sering “bermain” kotor dalam penyelesaian suatu perkara,” urai Prof Henry melalui sambungan handphone di Jakarta, Minggu (27/10/2024).
Profesor Kehormatan dari Unissula Semarang tersebut menyebutkan Indonesia sudah darurat korupsi, sehingga dapat menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat.
Untuk itu, tiada jalan juga menjadi momentum di Pemerintahan Prabowo-Gibran harus ada reformasi hukum, khususnya revisi Undang-undang Mahkamah Agung (MA) yang menyentuh perubahan sistem guna memperkuat pengawasan terhadap hakim agung.
Bahkan MA, kata Henry yang juga politisi Partai Golkar, telah menjadi ‘Mahkamah Ajaib’ karena putusan-putusannya, seperti putusan kasus vonis bebas Gregorius Ronald Tannur.
“Sehingga tidak mengherankan, jika Political and Economical Risk menempatkan peradilan Indonesia sebagai yang terburuk sepanjang tahun 2008 di Asia. Bahkan dari data menyebutkan, dari 12 negara yang disurvai Indonesia mendapat nomor paling buncit,” jelas Lulusan Cumlaude Doktor hukum UNS dan Universitas Borobudur ini.
“Ini sudah pasti membuat dinamika krisis kepercayaan di masyarakat terhadap hukum di Indonesia semakin akut,” imbuhnya.
Peran “Orang Dalam” (Ordal)
Prof Henry menyebut peran Ricar sejatinya hanyalah seorang makelar belaka. Ia tidak bisa melakukan dugaan pengurusan perkara di lingkungan lembaga peradilan sendirian, tanpa peran orang dalam (ordal) di Mahkamah Agung, karena dirinya sebelumnya juga tercatat salah satu pejabat pratama di lembaga tertinggi hukum di Indonesia tersebut.
Dengan demikian, patut diduga kuat terdapat pelaku lain dalam perkara dugaan suap pengurusan kasasi dari terdakwa Gregorius Ronald Tannur.
“Pelaku lain ini yang harus dicari juga, sebab ZR ini bukan hakim yang punya kewenangan memutuskan siapa? Jadi jangan berhenti sampai di sini saja atas peran aktif dan progresif Kejagung,” tandasnya.
Pada saat yang bersamaan, kata Prof Henry, hakim pun tidak bisa menjalankan operasi pengurusan perkara sendiri. Karena itu, diduga terdapat peran panitera, panitera pengganti, maupun pegawai-pegawai di MA, yang bisa jadi berperan membantu memuluskan administrasi perkara kasus ini sesuai “perintah” pengorder keringanan, bahkan vonis bebas.
Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini lantang menyebutkan di luar MA, badan peradilan di bawahnya dan advokat pun juga mungkin terlibat. “Ini ada dugaan mafia-mafia kasus di lingkungan dan semua tingkatan peradilan harus di usut tuntas hingga ke akar-akarnya,” tuturnya.
Prof Henry berharap Pemerintahan Prabowo-Gibran harus segera melakukan penataan sistem dan mekanisme peradilan yang terkelola secara profesional dengan menggunakan prinsip transparansi, dan akuntabel yang melibatkan dukungan digitalisasi di setiap tingkatan peradilan dari Kabupaten//Kota, Provinsi, hingga upayab! Kasasi di Mahkamah Agung.
“Supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari harus ada pola rewards dan punishment. Ini harus diberikan dan diberlakukan kepada setiap hakim dan panitera serta ASN di lingkungan MA,” ucapnya.
Selain itu, penegakan disiplin pegawai dan penegakan hukum juga harus diberlakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. “Bagi yang melanggar Undang-Undang, Peraturan, maupun Surat Edaran MA harus dilakukan sanksi keras dan tegas seperti dalam prinsip ultimum remedium,” tegas Henry yang juga Fungsionaris Pusat Partai Golkar.
Seperti telah diberitakan sebelumnya, Mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (2010-2022) itu diciduk tim Kejaksaan Agung usai diduga jadi makelar kasus suap untuk mengupayakan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur, anak dari Edward Tannur, anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terseret kasus tewasnya Dini Sera Afrianti (29). {redaksi}