Berita Golkar – Pemerintah berencana memangkas regulasi terkait penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Hal ini dirasa perlu dilakukan pemerintah untuk memudahkan distribusi pupuk bersubsidi. Selain itu, pemerintah juga berencana menggelontorkan 9,55 juta ton pupuk subsidi secara langsung kepada para petani tanpa melalui skema BLT.
Menanggapi rencana pemerintah ini, anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo angkat bicara. Menurutnya, persoalan tata kelola penyaluran pupuk bersubsidi sudah lama menjadi momok tersendiri bagi sektor pertanian tanah air. Sehingga kebijakan ini menurut Firman dapat membawa angin segar bagi cita-cita mencapai swasembada pangan.
“Oleh karena itu, kalau ada konsep untuk mencabut alur birokrasi katakanlah tidak perlu ada SK bupati, SK gubernur, tidak perlu diatur melalui kementerian perdagangan kami setuju,” ujar Firman Soebagyo seperti dikutip redaksi Golkarpedia dalam siaran wawancara bersama Elshinta Radio pada Sabtu (23/11).
“Rapat terakhir di Komisi IV pupuk Indonesia juga sudah mengeluhkan, birokrasi yang terlampau berkepanjangan ini sangat mengganggu. Karena industri kan ingin cepat, tapi ketika tergilas birokrasi yang berkepanjangan di tingkat kabupaten, ini yang jadi hambatan, ini yang harus dipangkas. Tapi untuk penyaluran, di Indonesia ada 800 ribu Gapoktan, bagaimana ini akan diberikan langsung ke kelompok tani ini,” tambahnya lagi.
Meski setuju terhadap rencana pemerintah tersebut, Firman memberi catatan bahwa kebijakan ini harus memenuhi unsur akuntabel, terlebih penyaluran pupuk subsidi ini menggunakan uang negara. Jangan sampai kemudian, program ini mengalami kegagalan.
“Subsidi pupuk yang diberikan kepada masyarakat ini kan tujuannya untuk membantu masyarakat tidak mampu dengan batasan luas lahan tertentu. Kedua karena ini uang dari negara, APBN, sistem mekanisme pemberian subsidi kan harus pola tata keuangan negara. Di mana pupuk subsidi yang disalurkan kepada masyarakat harus auditable, dan ini akan diaudit BPK,” dijelaskan politisi senior Partai Golkar ini.
Belajar dari masa lalu, penyaluran pupuk bersubsidi secara langsung kepada para petani sebenarnya sudah dilakukan di era Orde Baru. Namun saat itu program ini bisa dikatakan gagal karena banyak dari petani yang tak mampu membayar. Imbasnya kerugian langsung dirasakan keuangan negara.
“Pengalaman yang lalu di zaman Orde Baru subsidi pupuk langsung kepada masyarakat melalui KUB dan KUT itu banyak yang gagal, terutama gagal bayar. Sekarang sistem itu sudah diperbaiki oleh pupuk Indonesia di mana dengan sistem distributor itu ada garansi pembayaran kepada uang negara,” tambah Firman.
Apabila tetap dipaksakan kebijakan penyaluran pupuk subsidi secara langsung kepada petani, Firman turut mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pelaporan penyaluran tersebut. Apakah itu Gapoktan (Gabungan Kelompok Petani), dinas di Kementerian Pertanian atau bagaimana?
Kemudian yang perlu kita soroti juga persoalan pengecer. Banyak kelompok tani yang tak paham mekanisme, terutama laporan. Sekarang beban laporan administrasi akibat pemeriksaan BPK sampai ke pihak pengecer itu rumitnya luar biasa. Ini juga harus disederhanakan, harus kita evaluasi.
Pada prinsipnya Firman setuju dengan pemangkasan birokrasi dan distribusi penyaluran pupuk subsidi, namun ia mengusulkan agar pemangkasan jalur birokrasi di level provinsi dan kabupaten dilakukan. Sehingga alurnya satu arah, dari Kementerian Pertanian hingga ke koperasi di desa atau tingkat pengecer.
“Menurut saya untuk distribusi pupuk itu tidak perlu diatur oleh banyak kementerian tetapi cukup Kementerian Pertanian yang urus masalah ini, kemudian menugaskan kepada produsen, produsen ke distributor, distributor ke bawah itu bisa melalui BUMDes, bisa melalui koperasi bisa melalui pengecer,” pungkas Firman Soebagyo. {redaksi}