Cita-Cita Kecil Hetifah Ternyata Ingin Jadi Ketua MPR RI

Berita Golkar – Podcast Tribun Kaltim dalam program acara Mata Lokal Memilih yang berlangsung pada Jumat malam (10/11/2023) mengangkat tema “Srikandi Kaltim di Senayan”.

Program yang dipandu langsung oleh Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim, Ibnu Taufik Juwariyanto kali ini menghadirkan bintang tamu Hetifah Sjaifudian yang merupakan salah satu anggota DPR RI Dapil provinsi Kalimantan Timur.

Dari sekian materi yang diperbincangkan seputar Srikandi Kaltim, ada beberapa hal yang menarik dari seorang politikus yang sudah tiga periode duduk kursi panas Senayan itu.

Salah satunya adalah cinta -cita seorang Hetifah Sjaifudian saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Kala itu Hetifah kecil sama sekali tidak terpikirkan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hetifah kecil justru bercita-cita menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

“Saya ingat waktu saya kecil, saya punya buka Filateli trus di situ biasanya kan ada nama, alamat, terus kemudian cita-cita, ternyata saya nulis di situ menjadi ketua MPR,” kenang Hetifah sambil tertawa menjawab pertanyaan Ibnu Taufik Juwariyanto terkait cerita awal mula ketertarikannya terjun ke dunia Politik.

Bukan tanpa alasan, cita-cita yang ditulis dalam buku Filateli miliknya kala itu karena Hetifah kecil ingin memilih Presiden sebab aturan pemilihan Presiden saat itu hanya bisa dilakukan oleh MPR RI.

“Karena dulu kan biasanya orang punya cita-cita menjadi presiden gitu ya, cuma waktu saya sekolah kan belajar presiden dipilih oleh MPR, waktu dulu, kalau sekarang kan UUD kita sudah berbeda, tapi okelah kalau saya pikir-pikir kenapa ya orang-orang mau jadi Presiden, nah saya mau jadi orang yang milih Presiden,” lanjut Hetifah sapaan karibnya.

Kayanya baru kelas 6 SD gitu kali ya mungkin baru belajar PKN, pelajaran kewarganegaraan.  Jadi mulai ada ketertarikan kepada hal-hal yang berbau ketatanegaraan ternyata,” timpalnya.

Politikus yang pernah menjabat sebagai ketua Komisi IX DPR RI ini juga menceritakan seiring berjalannya waktu, dia kemudian menjadi aktivis Kampus dan mendirikan beberapa  organisasi salah satunya adalah lembaga organisasi Civil Society yang aktif berpartisipasi dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang tidak mampu dipenuhi pemerintah sebelum akhirnya terjun ke dunia politik.

“Pada saat itu kan kita memasuki era reformasi. Jadi sebelum itu kan saya aktif sebagai NGO itu memilih posisi di luar pemerintahan, jadi saya membuat lembaga riset independen nggak pernah mau nerima dana dari pemerintah.

Kemudian kita mencoba atau membuka daya kritisi masyarakat melakukan pengawasan. Sebenarnya mirip-mirip juga sih sama yang saya lakukan sekarang cuma di luar sistem,” ungkapnya.

Perjalanan menuju dunia politik kemudian dimulai pada era Jusuf Kalla yang kala itu menjabat sebagai ketua umum partai Golkar dan muncul aturan yang mengharuskan ada kader perempuan.

“Nah ketika reformasi saya mendirikan lembaga lain yang berbeda nafasnya kalau sebelumnya itu first on first pemerintah selalu bertentangan, saya pikir kan pemerintah sekarang sudah reform dan gitu banyak terjadi namanya desentralisasi karena pemerintah daerah itu mereformasi diri seperti apa, jadi saya membentuk lembaga ini pemerintah-pemerintah daerah yang mau mereformasi diri jadi akhirnya melakukan kegiatan-kegiatan termasuk di Kaltim juga,” ungkapnya.

Menurut Hetifah, menjadi seorang politisi harus memiliki motivasi yang kuat serta memiliki nyali yang kuat pula.

“Saya kira untuk menjadi Politik memang wajib punya suatu motivasi karena kayanya kalau ngak punya suatu minat yang kuat pasti deh kita bisa drop out, pasti drop out, saya pastikan kalau tidak punya nyali dan punya motivasi yang kuat dan yakin bahwa politik itu akan memberikan kita satu ruang kesempatan untuk meningkatkan pengaruh kita,” ujarnya.

Untuk diketahui, Dr. Ir. Hetifah, MPP lahir di Bandung 30 Oktober 1964 merupakan mantan aktivis kampus dan lama bergelut dalam berbagai organisasi civil society.

Hetifah pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa serta Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB, dan merupakan salah satu pendiri AKATIGA Pusat Analisis Sosial, Perkumpulan Inisiatif, serta B-Trust Advisory Group untuk Reformasi Kebijakan Publik dan Tata Pemerintahan.

Latar pendidikan Hetifah adalah bidang Perencanaan Kota dan Wilayah di Institut Teknologi Bandung. Hetifah melanjutkan studi untuk Master in Public Policy dari National University of Singapore, dan meraih gelar PhD dari School of Politics and International Relations, Flinders University Adelaide Australia.

Disertasi yang ditulisnya berjudul “New Voices of the Community? Citizen Forums in Reformasi Era Indonesia” menelaah bagaimana cara warga dan kelompok-kelompok marjinal mempengaruhi kebijakan publik di daerah.

Hetifah telah banyak menerbitkan artikel, laporan, dan buku. Bahkan penulis buku “Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia” yang menjadi salah satu referensi penting dalam praktek tata kelola pemerintahan partisipatif.

Saat ini Hetifah mendedikasikan dirinya menjadi politisi dari Partai Golkar, dan pada tahun 2009 terpilih menjadi anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Timur.

Pada awal pengabdiannya di DPR RI (2009-2011), Hetifah berkiprah di Komisi X bidang pendidikan, kebudayaan, kepemudaan, olah raga, dan pariwisata. Kemudian menjadi anggota Komisi V bidang infrastruktur, perhubungan, perumahan, dan pembangunan daerah tertinggal.

Selama di DPR, Hetifah aktif mengadvokasikan pembangunan wilayah perbatasan dan daerah pedalaman. Dalam rangka percepatan pembangunan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara,

Hetifah turut aktif mendorong pembentukan Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Mahakam Ulu di wilayah Kutai Barat, yang sebagian wilayahnya memang sangat sulit dijangkau dan masih tertinggal. {sumber}