Berita Golkar – Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menghormati kebijakan Korps Lalu Lintas atau Korlantas Polri soal pembekuan sirine dan penggunaan strobo pengawalan bagi para pejabat negara.
Menurut Dave Laksono, hal itu membuktikan publik semakin awas dengan apa yang dilakukan oleh mereka yang digaji dari pajak.
“Pertama-tama, saya apresiasi perhatian publik terhadap isu penggunaan strobo dan sirine yang belakangan memang menjadi sorotan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap tata kelola ruang publik, khususnya dalam hal ketertiban dan keadilan di jalan raya,” kata Dave saat dihubungi melalui pesan singkat, Minggu (21/9/2025), dikutip dari Liputan6.
Dave memandang, penggunaan perangkat seperti strobo dan sirine harus sepenuhnya tunduk pada aturan yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dia menegaskan, penggunaan yang tidak sesuai peruntukan bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan keresahan dan ketidakadilan bagi pengguna jalan lainnya.
“Saya mendukung langkah evaluatif yang dilakukan oleh Korlantas Polri dalam membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator. Ini adalah respons yang tepat terhadap aspirasi masyarakat,” terang Dave.
Namun Dave menilai, pembekuan saja tidak cukup. Perlu ada penegakan hukum yang konsisten dan edukasi publik agar penggunaan fasilitas pengawalan benar-benar sesuai dengan prinsip kepatutan dan kebutuhan pengamanan.
Selain itu, menurut Dave, terkait adanya usul agar pengawalan hanya diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden, hal itu bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut di tingkat lintas lembaga.
“Prinsipnya, pengawalan harus proporsional dan tidak menjadi simbol privilese yang berlebihan. Kita semua, termasuk pejabat negara, harus menjadi teladan dalam menghormati hak pengguna jalan lainnya,” tutur politisi Partai Golkar ini.
Dave percaya, penataan ulang kebijakan ini akan berdampak positif bagi ketertiban dan rasa keadilan di ruang publik.
“Kami mendukung agar kebijakan publik dijalankan secara transparan dan akuntabel, serta disertai edukasi yang kuat agar aturan dipahami dan dipatuhi bersama,” Dave menandasi.
Diberitakan sebelumnya, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri membekukan penggunaan sirine dan rotator dia mobil patroli pengawal atau patwal. Hal itu menyusul protes publik di sosial media hingga muncul gerakan anti sirene dan rotator.
“Saya bekukan untuk pengawalan menggunakan suara-suara itu,” tutur Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat 19 September 2025.
Suara dari sirene dan rotator yang dinilai mengganggu pengguna mobil dan motor di jalan pun menjadi bahan evaluasi Korlantas Polri.
“Karena ini juga masyarakat terganggu, apalagi padat, ini kita evaluasi biarpun ada ketentuannya pada saat kapan menggunakan sirene termasuk (menggunakan suara) tot tot,” jelas dia.
Buntut Penggunaan Sirine dan Strobo Dibekukan, Muncul Usulan Pengawalan Hanya untuk Presiden-Wapres
Sebelumnya, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mendukung kebijakan pembekuan sementara penggunaan sirine dan rotator saat melakukan pengawalan di jalan raya.
Menurut dia, kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang baik untuk mengembalikan aturan yang berlaku. Namun, Djoko menilai penertiban ini sebaiknya tidak hanya sementara.
“Itu hal yang positif, tapi bukan sementara ya selamanya. Ini kebijakan positif artinya Korlantas mendengar keluhan masyarakat di jalan,” kata dia saat dihubungi, Sabtu malam 20 September 2025.
Dia mengatakan, penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan. Dalam keseharian dengan hirup pikuk kemacetan di Kota Jakarta, sebaiknya pengawalan dibatasi untuk Presiden dan Wakil Presiden.
“Sedangkan pejabat negara yang lain tidak perlu dikawal seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden,” ujar dia.
Djoko mengatakan, sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo. Sepengetahuannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hanya tujuh kelompok yang diperbolehkan untuk mendapatkan pengawalan.
“Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ucap dia.
“Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal. Karena menyangkut pengamanan, pihak yang paling berwenang adalah Polri. Karena pengamanan adalah bagian dari tugas pokok Polri,” sambung dia. {}


 
							










