Dave Laksono: Kekuatan Pertahanan Nasional Harus Ditopang Kemandirian Industrinya

Berita Golkar – Pembangunan industri pertahanan merupakan salah satu bagian penting dalam menjaga kepentingan nasional sebagai wujud nyata dalam berbagai bentuk regulasi sampai dengan implementasinya yang akhirnya bermuara kepada kedaulatan dan kemandirian sebuah bangsa.

Untuk membangun kekuatan pertahanan yang mandiri tentunya perlu ditopang oleh industri pertahanan yang mandiri. Eksistensi industri pertahanan pada akhirnya diarahkan untuk tujuan nasional yang lebih besar yaitu dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional serta meningkatkan produk domesti bruto (PDB) nasional.

Dengan eksisnya industri pertahanan, maka tidak saja kebutuhan alat utama sistem persenjataan atau alutsista dalam negeri akan terpenuhi akan tetapi juga akan dapat memenuhi kebutuhan alutsista di kawasan regional maupun internasional.

Hal ini akan memberi dampak positif yang mampu memberikan efek berantai bagi pemerataan ekonomi yang berkeadilan dan perkembangan ekonomi nasional serta peningkatan SDM menuju Indonesia maju.

“Semuanya itu hanya contoh bahwa baik BUMN dan BUMS bidang pertahanan sudah berada dalam jalur yang tepat untuk mewujudkan kemandirian pemenuhan kebutuhan Alutsista yang maju, kuat dan mandiri, serta berkelanjutan,” kata Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar,  Dave Akbarshah Fikarno Laksono yang akrab disapa Dave Laksono kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (2/1/2024).

Untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan dan kebutuhan alutsista TNI, lanjut dia, Pemerintah bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertahanan dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) terus menerus mengembangkan industri pertahanan dalam negeri.

“Mewujudkan kemandirian Industri pertahanan dalam negeri merupakan komitmen pemerintah Indonesia dalam hal ini sama dengan komitmen Kemenhan untuk mengembangkan industri dalam negeri,” katanya.

Sesuai dengan komintmen pemerintah, bahwa Industri Pertahanan Nasional harus mandiri dan maju, serta berkelanjutan kini Indonesia sudah memiliki 7 industri pertahanan BUMN dan 28 BUMS, semua men-suport kegiatan Kemhan dan TNI.

Indonesia sudah mampu membuat alutsista sesuai kompetensi dari perusahan tersebut bahkan sudah mulai banyak yang diekspor ke negara lain semisal Tank, mobil Jeep Militer dll.

“Singkat kata, industri pertahanan dalam negeri sudah cukup lengkap mulai alutsista  pesawat, kapal laut,  tank, kemudian perlengkapan alat pendukungnya termasuk manajemen di dalamnya seperti senjata dan amunisinya,” ujarnta.

Sekarang Indonesia sedang mengembangkan roket yang merupakan program nasional. Yang menjadi prioritas untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI di antaranya mengembangkan teknologi kapal selam, dan kapal selam ketiga yang dibangun di PT PAL.

Selain itu, medium Tank kini sedang dikembangkan PT Pindad dengan beberapa perusahaan pendukung lain, juga Profeland.

Tantangan Industri Pertahanan

Dave menjelaskan, dalam usaha memajukan industri pertahanan, Indonesia menghadapi tantangan yang sangat komplek baik berupa persaingan ketat antar negara dalam merebut pangsa pasar maupun kemampuan dan daya saing, serta kualitas SDM dan anggaran. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan strategi yang jitu serta kerja sama yang erat diantara ketiga pilar industri pertahanan yaitu pemerintah, pengguna, dan industri pertahanan.

Selama satu dasa warsa terakhir, Kemenhan selalu berkomitmen untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pertahanan negara dengan pelaksanaan program-program kerjanya. Ada beberapa pencapaian di bidang penyelenggaraan kebijakan pertahanan negara salah satunya adalah komitmen membangun industri pertahanan yang kuat, maju, mandiri, dan berdaya saing.

Pembangunan industri pertahanan merupakan salah satu bagian penting dalam menjaga kepentingan nasional sebagai wujud nyata dalam berbagai bentuk regulasi sampai dengan implementasinya yang akhirnya bermuara kepada kedaulatan dan kemandirian sebuah bangsa.

Dengan eksisnya industri pertahanan, sambung dia, maka tidak saja kebutuhan alutsista dalam negeri akan terpenuhi akan tetapi juga akan dapat memenuhi kebutuhan alutsista di kawasan regional maupun internasional, sehingga memberi dampak positif yang mampu memberikan efek berantai bagi pemerataan ekonomi yang berkeadilan dan perkembangan ekonomi nasional serta peningkatan SDM menuju Indonesia maju.

Dia menceritakan, beberapa waktu lalu Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani telah menyampaikan pentingnya menguatkan industri pertahanan dalam negeri sebagai salah satu cara memenuhi ketersediaan alat peralatan pertahanan nasional. Menurut Puan, hal itu adalah komitmen yang harus diwujudkan sesuai UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Puan dalam kesempatan tersebut menjelaskan, UU tentang Industri Pertahanan dibentuk untuk mewujudkan ketersediaan alat peralatan pertahanan dan keamanan secara mandiri yang didukung kemampuan industri pertahanan nasional dan memajukan keunggulan sumber daya manusianya. Namun untuk melaksanakan semua itu masih banyak tantangan yang dihadapi.

Industri pertahanan yang didominasi BUMN masih terus berjuang mencapai titik kedewasaan sehingga mampu bersaing dengan kompetitor dari luar negeri. Meskipun telah dikembangkan sejak akhir 1970-an, namun tingkat penguasaan teknologi industri pertahanan domestik mayoritas belum setingkat dengan industri pertahanan negara lain, bahkan dibandingkan dengan Turki dan Korea Selatan.

Hal tersebut antara lain karena terjadinya ketidaksinambungan kebijakan pemerintah, antara tahun 1998 hingga 2008. Bagaimanapun, kelangsungan industri pertahanan amat tergantung pada kebijakan pemerintah karena karakter industri ini yang unik dalam hal pasar.

Eksistensi industri pertahanan dipandang sebagai pencapaian penguasaan dan pencapaian teknologi oleh suatu negara. Kehadiran industri pertahanan juga mencerminkan kegiatan ekonomi yang tercipta di belakangnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Bila di negara-negara maju industri pertahanan mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap eksekutif maupun legislatif untuk melindungi kepentingan mereka. Industri pertahanan mendapatkan dukungan politik yang kuat bukan saja karena pembayaran pajak mereka yang bernilai besar ke pemerintah pusat dan pemerintah lokal, namun karena menyediakan lapangan kerja di lokasi produksi mereka,” katanya.

Kebutuhaan Pasokan Komponen

Dalam era globalisasi ketika kegiatan produksi komponen untuk industri manufaktur mengalami penyebaran ke negara-negara lain sebagai bagian dari efisiensi biaya produksi, industri pertahanan tidak dapat melepaskan dari interdependensi. Apabila terjadi kelangkaan pasokan komponen dari salah satu negara, secara otomatis akan memengaruhi proses perakitan akhir di negara pembuat senjata.

Praktek itu dikenal sebagai global supply chain dan Indonesia sudah menjadi bagian dari hal tersebut pada industri dirgantara sejak 1980-an.

Sayangnya, belum ada industri pertahanan Indonesia di luar sektor dirgantara yang menjadi bagian global supply chain.

Global supply chain merupakan hal lumrah dalam industri pertahanan karena nyaris tidak ada negara yang mampu memproduksi seluruh komponen senjata secara mandiri berdasarkan pertimbangan kapasitas teknologi maupun skala keekonomian,” jelasnya.

Dave berpendapat pemerintah memiliki target yang tidak realistis, yaitu menginginkan agar kandungan lokal pada produk industri pertahanan dalam negeri adalah 100%.

Dengan kata lain, pemerintah ingin menciptakan domestic supply chain tersendiri dan tidak mengandalkan pada pasokan asing sama sekali.

“Target tersebut tidak realistis dan tidak dapat dicapai ditinjau dari aspek tingkat penguasaan teknologi dan aspek skala keekonomian,” tegasnya.

Kemudian industri pertahanan Indonesia memiliki tantangan dalam hal kontribusi terhadap ekonomi nasional maupun ekonomi lokal.

“Pertanyaan yang muncul adalah apa kontribusi industri pertahanan terhadap ekonomi nasional maupun ekonomi lokal di luar pembayaran pajak? Seberapa banyak tenaga kerja yang diserap oleh industri pertahanan Indonesia, khususnya BUMN? Apakah industri pertahanan domestik didukung oleh domestic supply chain yang signifikan,” tanya Dave.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, jumlah karyawan tetap lima industri pertahanan yang tergabung dalam Defend ID diperkirakan sekitar 10.000 orang, dengan jumlah karyawan setiap perusahaan berbeda-beda. Industri seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad menyerap lebih banyak tenaga kerja. Sedangkan jumlah karyawan nonpermanen di BUMN industri pertahanan bervariasi dan tergantung pada kondisi bisnis masing-masing perseroan.

Sebagian besar BUMN industri pertahanan bergantung pada alokasi belanja modal APBN Kementerian Pertahanan sebagai sumber pendapatan utama pada lini bisnis pertahanan.

Sebaliknya, kata dia, sangat sedikit industri pertahanan yang mengandalkan pendapatannya pada pasar internasional, baik dalam bentuk ekspor senjata maupun menjadi bagian dari global supply chain.

Hal itu menjadi tantangan bagi BUMN industri pertahanan di tengah ambisi luar biasa untuk menduduki jajaran top 50 industri pertahanan global pada tahun2024.

“Ketika alokasi belanja modal APBN Kemenhan tidak memenuhi skala keekonomian bagi industri pertahanan maka satu-satunya opsi yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dari lini bisnis pertahanan adalah melirik pasar internasional,” imbuh Dave.

Menyangkut domestic supply chain, sambung dia, dapat dikatakan bahwa pasokan dari dalam negeri cukup minim. Hal itu berlaku pada industri pertahanan yang menghasilkan major weapon system seperti pesawat terbang, kapal perang dan kendaraan lapis baja.

Kondisi demikian membuat loss opportunity karena peluang untuk meningkatkan kontribusi industri pertahanan terhadap ekonomi nasional menjadi terhambat. Setidaknya terdapat tiga penyebab mengapa domestic supply chain belum berkembang di Indonesia.

Pertama, belum terciptanya kemitraan antara industri swasta dan BUMN industri pertahanan untuk supply chain meskipun fakta menunjukkan beberapa industri swasta nasional berpotensi menjadi pemasok bagi BUMN industri pertahanan.

Kedua, produk yang dihasilkan oleh industri swasta nasional belum memenuhi standar yang dibutuhkan, misalnya pada industri dirgantara.

Ketiga, industri swasta nasional belum memiliki kemampuan memproduksi sub sistem atau komponen major weapon systems yang dihasilkan oleh BUMN industri pertahanan.

Saat ini memang kontribusi industri pertahanan nasional belum signifikan terhadap ekonomi nasional dan lokal ditinjau dari aspek domestic supply chain.

“Untuk itu, investasi asing harus diarahkan untuk kepentingan pasar domestik dan internasional agar dapat memenuhi skala keekonomian. Semua itu masih menjadi tantangan dan PR industri pertahanan nasional sekarang dan ke depan,” pungkasnya. {sumber}