Berita Golkar – Komisi I DPR RI menyatakan optimistis revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran dapat diselesaikan dalam periode legislatif saat ini, meskipun pembahasannya telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono menegaskan komitmen tersebut saat memimpin Rapat Panja RUU Penyiaran dengan Kadin, Sahabat Peradaban Bangsa, dan AKKSI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (14/7/2025).
“Ini dimulai sekitar tahun 2012, sampai hari ini belum juga kunjung selesai tapi kita memang menargetkan di periode ini bisa segera rampung,” ujar Dave, sapaan akrabnya, dikutip dari laman DPR RI.
Ia juga menjelaskan, panjangnya proses revisi RUU Penyiaran salah satunya disebabkan oleh dinamika regulasi yang terus berkembang. Tercatat, rancangan undang-undang tersebut sudah mengalami perubahan substansi hingga tiga kali, termasuk akibat penyesuaian dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
“Kenapa RUU-nya belum selesai tapi sudah berubah tiga kali? Karena ada aturan induknya terakhir dengan RUU Ciptaker. Ada sejumlah hal yang berkaitan dengan multiplexing yang tadinya diatur di dalam RUU ini, tapi dikeluarkan lalu diatur di dalam undang-undang Ciptaker,” jelasnya.
Dave mengakui Komisi I DPR saat ini belum menetapkan secara spesifik target waktu penyelesaian. Namun demikian, ia memastikan substansi penting dalam revisi UU Penyiaran akan terus dibahas secara intensif agar dapat mengakomodasi perkembangan industri penyiaran dan platform digital.
“Timeline-nya memang kita belum set (tetapkan), kenapa? Karena ini adalah perubahan ketiga akan RUU tentang penyiaran. Tapi kita optimistis bisa kita selesaikan di periode ini,” paparnya.
Dalam forum tersebut, Komisi I DPR juga menerima sejumlah masukan dari pemangku kepentingan, antara lain Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Serikat Perusahaan Pers Broadcasting (SPB), serta Asosiasi Kelembagaan Komunitas Siaran Indonesia (AKKSI).
Sebagai informasi, Kadin mengusulkan perlunya persamaan perlakuan antara industri penyiaran konvensional dan penyelenggara platform digital. Sementara SPB menekankan pentingnya penataan konten penyiaran positif di era multiplatform, dan AKKSI menyoroti soal etika penyelenggaraan penyiaran.
Dengan beragam masukan ini, Politisi Fraksi Partai Golkar itu berharap revisi UU Penyiaran bisa memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong terciptanya ekosistem penyiaran yang sehat, adil, serta relevan dengan kebutuhan zaman. {}