Dewi Asmara Nilai Revisi UU Hak Cipta Bakal Ciptakan Ekosistem Industri Musik Yang Lebih Sehat

Berita Golkar – Polemik panjang seputar pembayaran royalti musik di Indonesia memasuki babak baru. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mempercepat revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan target rampung dalam dua bulan.

Langkah ini digadang-gadang akan menjadi solusi permanen untuk menyelesaikan “kegaduhan” yang kerap terjadi antara musisi dan pelaku usaha.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara, menyebut revisi UU tentang Hak Cipta ini adalah kunci untuk menciptakan ekosistem industri musik yang sehat.

“Revisi ini akan memperjelas mekanisme penarikan, distribusi, dan pengawasan royalti agar tidak lagi menimbulkan kegaduhan,” ujar Dewi dalam keterangan tertulis kepada Golkarpedia, Senin (25/8/2025).

Menurut Dewi, perbaikan sistem royalti harus dilakukan lewat revisi undang-undang yang didukung digitalisasi. Ketua Umum Depipus Wirakarya ini menekankan bahwa ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga tentang menghargai karya anak bangsa.

Dewi Asmara berharap kesepakatan yang berhasil dicapai dalam rapat konsultasi antara DPR RI, pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), dan perwakilan musisi, terkait manajemen royalti pada Kamis (21/8) akan menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat.

Legislator Partai Golkar asal Sukabumi ini berharap melalui kesepakatan tersebut para pelaku usaha tidak perlu lagi khawatir memutar lagu di ruang publik komersial, asalkan mengikuti mekanisme yang berlaku.

“Penyelesaian polemik royalti ini akan menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat. Musisi mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka, sementara pelaku usaha bisa tetap berkontribusi pada industri budaya tanpa merasa terbebani,” kata Dewi Asmara.

Dia lantas membeberkan lima kesepakatan utama yang berhasil dicapai dalam rapat konsultasi antara DPR RI, pemerintah, LMKN, musisi, dan pelaku industri pada Kamis (21/8), yakni sentralisasi penarikan royalti yang akan dipusatkan di LMKN selama dua bulan ke depan. “Hal ini untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas sambil menunggu revisi UU Hak Cipta,” katanya.

Kedua, audit dan transparansi distribusi royalti. Dewi Asmara mengatakan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) akan diaudit agar distribusi royalti dilakukan secara adil dan transparan sehingga para pencipta lagu bisa memperoleh hak ekonomi mereka dengan layak.

Ketiga, revisi UU Hak Cipta. Dewi mengatakan DPR RI bersama pemerintah berkomitmen menyelesaikan revisi UU Hak Cipta dalam dua bulan mendatang. “Revisi ini akan memperjelas mekanisme penarikan, distribusi, dan pengawasan royalti agar tidak lagi menimbulkan kegaduhan,” ujarnya.

Keempat, edukasi dan sosialisasi. Dia mengatakan pemerintah akan meningkatkan pemahaman publik dan pelaku usaha tentang pentingnya menghormati hak cipta serta kewajiban membayar royalti.

Kelima, skema tarif proporsional. Dia menjelaskan tarif royalti akan disesuaikan dengan jenis usaha, luas ruangan, dan durasi pemutaran musik. “Skema ini akan meringankan beban pelaku usaha, namun tetap menjamin hak musisi,” ucap Dewi Asmara.

Dia menambahkan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dan digitalisasi sistem royalti akan menjadi kunci keberlanjutan sistem yang adil, akuntabel, dan modern.

Termasuk, lanjut dia, edukasi kepada masyarakat sebagai langkah penting untuk menumbuhkan budaya menghormati hak cipta. “Ini bukan sekadar soal bisnis atau regulasi, tapi tentang menghargai karya anak bangsa dan memastikan industri musik Indonesia terus tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan,” ujarnya.

Di awal, Dewi menilai polemik royalti lagu yang sempat menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha, musisi, dan masyarakat muncul karena kesenjangan pemahaman antara pelaku usaha, pencipta lagu, dan regulator terkait implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

“Banyak pelaku usaha seperti restoran, kafe, hotel, hingga transportasi umum tidak menyadari kewajiban membayar royalti. Bahkan ada yang memilih berhenti memutar musik atau beralih ke lagu asing. Sementara itu, para musisi mempertanyakan transparansi distribusi royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif,” tuturnya.

Dia kemudian melanjutkan, “Puncak dari keresahan ini terjadi ketika 29 musisi mengajukan uji materil Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi pada Maret 2025.” pungkasnya. {}

Leave a Reply