DPP  

Di Balik Naiknya Suara Golkar

Berita GolkarPemilu sudah selesai, tinggal menunggu penghitungan berjenjang dari Kecamatan hingga Pusat. Suara Partai Golkar diketahui meningkat di sekitar 15%, atau hanya tertinggal satu persen dari PDIP. Padahal beberapa bulan sebelumnya, Golkar sempat dilanda isu perpecahan hingga ancaman Munaslub.

Bagaimana Golkar bisa keluar dari “krisis” ini, dan justru melakukan comeback sampai meraih hasil yang melebihi target? Bila kita tarik mundur ke belakang, ke pemilu pertama era Reformasi, pada 1999 kita mendapatkan dukungan terbanyak dari rakyat dengan 22,43%.

Padahal saat itu Reformasi baru muncul, dan Golkar kerap dikaitkan dengan rezim masa lalu. Faktanya rakyat tetap mempercayai kerja politik dan karya pembangunan Golkar. Lalu pada 2004, Golkar masih menjadi pemenang dengan 21,57%. Berikutnya pada 2009, dengan semakin stabilnya partai-partai lainnya, Golkar masih didukung 14,45% suara rakyat. Pada Pemilu 2014 kami mendapat suara 14,75%, dan 2019 dengan 12,31%.

Dari data tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, tren suara Golkar berada di kisaran 12% hingga 14%. Di sisi lain, sejak Reformasi, tidak ada partai mayoritas di Indonesia sebagaimana Golkar di masa lalu. Yang ada adalah pemenang pemilu dengan perolehan seputar 20%.

Dengan fakta-fakta tersebut, maka kami di Golkar tidak terlalu terkejut dengan hasil Pileg 2024 yang cukup baik. Perolehan ini (sekali lagi) membantah rilis survei beberapa bulan menjelang pemilu, di mana rating Golkar berada di kisaran 7% sampai 9%.

Kami saat itu tidak denial terhadap hasil survei tersebut. Sebaliknya, survei tersebut kami gunakan sebagai cermin (juga warning) untuk bekerja lebih keras. Ini juga bukan sesuatu yang baru, karena pada Pemilu 2014 dan 2019, elektabilitas Golkar sebelum pemilu juga selalu dipersepsikan oleh pollster di bawah 10%. Faktanya, data menunjukkan saat pemilu dilakukan, suara Golkar selalu melewati berbagai hasil survei tersebut.

Apa yang kami lakukan pasca bad news survei November-Desember lalu? Pertama, dalam setiap kesempatan Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) atau forum-forum konsolidasi lainnya, kami selalu menekankan ke seluruh jajaran partai bahwa kita tidak ingin menang di survei, tetapi menang di pemilu sesungguhnya.

Kami memahami bahwa rendahnya survei Golkar sebelum pemilu karena pollster hanya melihat kerja institusi partai dan citra partai. Di sini yang perlu digarisbawahi bahwa image politik selalu fluktuatif, depending on issues pada saat survei itu dilakukan. Mereka lupa, di akar rumput ada pergerakan mesin partai yang kerap tidak terpantau surveyor.

Kedua, ini yang juga penting, kami selalu menekankan agar seluruh jajaran partai, para pengurus, caleg, dan organisasi sayap harus turun dan dekat dengan rakyat. Dengan semakin dekat dengan pemilih, kita tahu apa yang mereka rasakan, termasuk apakah mereka mau memilih kita atau tidak. Setelah itu kita buat treatment untuk mengatasi berbagai tantangan di grassroot. Itu yang kami lakukan sejak empat tahun lalu, bukan hanya menjelang pemilu saja. Dan, itu yang berbeda kami lakukan hari ini dibandingkan sebelum-sebelumnya.

Peran Penting Caleg

Ketiga, persiapan Golkar pada 2024 ini jauh lebih matang. Pembentukan 10 wilayah kerja pemenangan sejak Munas 2019 menunjukkan keseriusan Golkar untuk terus meningkatkan suara. Munas juga mengamanatkan partai melakukan revitalisasi, rejuvenasi, dan modernisasi struktur partai hingga ke struktur terbawah. Sebagaimana tertera dalam putusan Munas maupun AD/ART, semua pengurus memastikan bahwa infrastruktur partai harus eksis sampai ke tingkat kecamatan dan desa, bukan hanya di atas kertas.

Lebih jauh AD/ART memerintahkan, tiga bulan setelah Musda di provinsi harus Musda ada di kabupaten. Lalu, tiga bulan setelah itu harus ada pemilihan di tingkat kecamatan. Satu tahun setelah Munas, semua infrastruktur partai harus tergelar konsolidasinya hingga tingkat kelurahan/desa.

Keempat, kami melakukan apa yang kami sebut sebagai “audit organisasi”. Selama ini ada stereotip bahwa Golkar adalah partai tua dengan infrastruktur yang paling menakutkan bagi lawan politik karena paling lengkap hingga ke ranting. Namun itu sebenarnya lebih bersifat retoris daripada fakta di lapangan. Kami tidak bangga berlebihan dengan “reputasi” itu. Sebaliknya, melihat itu sebagai tantangan yang harus dioptimalkan untuk pemenangan. Caranya, kita melakukan audit untuk mengisi infrastruktur partai dan melakukan revitalisasi.

Kami menemukan, misalnya ada ranting partai yang ketuanya sejak Golkar berdiri hingga sekarang masih sama. Atau dilanjutkan keluarganya secara turun-temurun. Ayahnya ketua, anaknya sekretaris, saudaranya bendahara, begitu seterusnya. Ini yang sejak 2020 pasca Munas, kita revitalisasi, untuk memastikan infrastruktur partai agar sesuai image-nya, dianggap sangat kuat. Kami ingin hal itu tidak berhenti di sekitar citra saja, melainkan benar-benar ada, riil di lapangan.

Kelima, kita membuat lembaga-lembaga baru. Misalnya Bappilu, yang biasanya diaktifkan satu tahun menjelang pemilu, kini mengalami peningkatan status dengan diformalkan di dalam AD/ART sebagai lembaga permanen. Jadi begitu pengurus baru terbentuk, struktur dan personalia Bappilu sudah juga harus ada. Lalu kita juga membentuk alat kelengkapan organisasi baru berupa Badan Saksi Nasional (BSN), yang kita pastikan bisa mengisi seluruh TPS yang ada. Sebelumnya pengadaan saksi lebih bersifat sporadis oleh masing-masing caleg di daerah. Kini saksi menjadi kunci, dan partai melakukan pelembagaan dengan meningkatkan level organisasi menjadi badan permanen.

Keenam, kami menghadirkan sebuah think-tank yaitu Golkar Institute (GI) yang bertujuan menjaring generasi baru melalui program sekolah the young political leaders. Dalam setahun GI melaksanakan pendidikan selama empat kali, yang menyasar anak-anak muda. Setelah mengikuti pelatihan, mereka kembali ke daerahnya masing-masing dan harus memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar. Anak-anak muda ini tidak diwajibkan masuk ke dalam struktur formal partai. Dengan begitu mereka bebas beraktivitas, dan mengeluarkan semua potensi dalam dirinya. Nah, ini semacam getaran baru yang kami ciptakan, dan alhamdulilah mendapat respons positif dari Milenial dan Genzy.

Ketujuh, kami memikirkan secara serius strategi penempatan caleg yang tepat dan memiliki dampak elektoral ke partai. Ini dilakukan sejak tiga tahun sebelum pileg, bukan membuka pendaftaran caleg beberapa bulan sebelum pemilu. Kami waktu itu mengajukan konsepnya dan disetujui oleh Ketua Umum. Singkatnya, kita melakukan tiga kali seleksi (rekrutmen) caleg. Awalnya kami mencari nama-nama terbaik di tiap wilayah, lalu dua tahun menjelang pemilu kami lakukan seleksi pertama. Jumlah caleg saat itu 200% dari kebutuhan, memang harus demikian. Lalu setahun berikutnya, seleksi kedua dilakukan, hasilnya daftar caleg menyusut menjadi 150%.

Tahap lanjutan menjelang DCS, penyaringan kembali dilakukan dan menghasilkan 100% nama-nama yang didaftarkan di DCS. Pasca DCS menuju DCT pun, partai masih melakukan evaluasi lagi. Caranya, kami berikan surat tugas ke masing-masing bacaleg untuk bekerja di masyarakat. Untuk caleg muda, salah satu indikatornya adalah apakah mereka bisa dan mampu berkondensasi dengan struktur partai. Lalu apakah mereka juga mempunyai program-program untuk menaikkan citra diri mereka dan citra partai di depan pemilih.

Tak hanya itu, kami juga menyeimbangkan potensi kader, dari incumbent hingga yang muda potensial. Jika menggunakan presentasi, dari seluruh caleg Golkar yang bertarung di Pileg 2024, sekitar 40%-nya adalah caleg muda. Kebijakan itu bukan sesuatu yang baru, namun melanjutkan regenerasi di partai yang selama ini sudah berjalan. Lihat saja di DPR, Golkar menempatkan pimpinan-pimpinan AKD yang secara usia relatif masih muda. Namun bukan hanya muda, melainkan juga memiliki kapasitas.

Branding dan Identitas

Kombinasi caleg incumbent dengan new comer potensial juga menjadi perhatian kami. Sejauh ini tidak ada resistensi, karena kebijakan tersebut diambil bukan sporadis, melainkan telah diumumkan sejak tiga tahun lalu. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, di mana penyusunan caleg dalam hitungan bulan. Dalam konteks ini, meski tidak sampai ada penolakan keras terkait DCS, namun saya dan Pak Airlangga siap untuk tidak populer saat ada beberapa pihak yang kecewa. Semua itu dilakukan dalam rangka upaya agar Golkar bisa menjadi pemenang pemilu.

Selain itu, para ketua-ketua DPD juga kita dorong untuk maju sebagai caleg dan kita tempatkan pada nomor urut yang bagus. Bukan hanya bentuk penghargaan terhadap mereka yang bertanggung jawab menggerakkan mesin partai, ini juga strategi untuk memastikan infrastruktur di bawah berjalan optimal. Secara umum strategi ini berjalan baik, di mana banyak dari mereka yang terpilih. Dengan kata lain, selain konsep seleksi caleg yang lebih ketat dari sebelumnya, kami juga menggunakan pendekatan mikro, teknis, sangat detail, yang alhamdulilah terkonversi ke suara yang meningkat.

Kedelapan, konsistensi Golkar dalam menjaga komitmen bergabung ke koalisi Presiden Jokowi. Itulah karakter Golkar yang selalu memegang komitmen dan konsisten pada posisi politiknya. Sejak sepakat menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), kami akan konsisten bekerja sesuai kesepakatan koalisi. Itu tidak bisa ditawar-tawar, karena sudah menjadi bagian dari DNA politik Golkar. Kita tahu risikonya, misalnya kami dihajar kanan-kiri, karena dianggap “lebih Jokowi dari partai Jokowi” sendiri. Faktanya memang begitu. Dengan segala hormat, mohon maaf, ada partai lain, bahkan partai pengusung utama, yang kerap berbeda jalan dengan kebijakan Pak Presiden.

Begitu juga dengan partai-partai lainnya di koalisi, yang kerap membuat manuver. Itu tidak berlaku bagi Golkar. Kami tidak peduli dianggap “partainya Pak Jokowi” atau tuduhan-tuduhan lainnya, yang pasti kami bekerja sesuai kesepakatan dalam koalisi. Begitu kami menyatakan menjadi bagian dari koalisi, kebijakan Presiden dan pemerintah akan kami amankan. Efeknya, saat menjelang Pilpres, di mana approval rate-nya Pak Jokowi naik, bisa jadi itu juga berpengaruh ke Golkar.

Kesembilan, dari hasil kajian kami, pada Pemilu 2024 ini kamilah satu-satunya partai yang warnanya kuning. Maka potensi ini kami optimalkan sebagai diferensiasi, termasuk dengan teman-teman koalisi Prabowo-Gibran. Lihat saja hampir semua APK caleg Golkar bernuansa kuning. Meski koalisi pilpres mengusung warga biru langit, namun kami tetap menonjolkan warna kuning sebagai elemen dominan dalam kampanye. Terkait dengan coattail effect pilpres, kami juga memaksimalkan hal itu dengan mempublikasikan momen Pak Prabowo yang berkali-kali mengunjungi kantor Golkar dengan dress code kuning. Itu kami kapitalisasi untuk menunjukkan keseriusan kami mendukung beliau.

Kesepuluh, Golkar terbukti solid di bawah kemimpinan Pak Airlangga. Dibandingkan sebelumnya, kita pernah mengalami masa sulit antara 2024 dan 2019. Saat itu terjadi konflik, dualisme, bahkan Munas dalam satu periode berlangsung sampai tiga kali. Lalu juga ada gejolak, saat menjelang pemilu sebelumnya, salah satu petinggi kami ada yang terkena musibah, terjerat masalah hukum. Hal-hal semacam ini pastinya berpengaruh terhadap image partai. Alhamdulillah tahun ini tidak ada cerita semacam itu, dan itu peluang bagi kami untuk secara leluasa mengangkat citra partai lebih kuat lagi.

Rekonsiliasi

Terkait ancaman Munaslub oleh segelintir senior dan kader, kami kira sebagian tuntutan tersebut tidak salah. Meski demikian, semua harus menyadari bahwa kita jangan membayangkan bahwa pemimpin kita harus selalu sempurna, itu juga berlebihan. Di sisi lain, pengalaman sebelumnya memberi pelajaran ke kami,bahwa ketidaksolidan dan perpecahan internal—yang sudah kita rasakan pada 2019 dan sebelumnya—menjadi pelajaran semua elemen partai untuk menghindari hal tersebut.

Maka saat itu, kami semua meyakinkan para Ketua DPD I dan DPD II untuk berpikir panjang, berkomitmen menjaga dan menyelamatkan partai. Tidak terus-menerus terjebak dalam Munaslub yang justru merugikan partai. Waktu itu saya cerita success story Golkar pada Pemilu 2004, di mana kita menjadi pemenang. Tahun ini, dua puluh tahun kemudian, merupakan momentum bagi Golkar untuk kembali menjadi juara lagi. Tentu saja impian itu tidak mungkin dicapai jika partai terus berkonflik. Puncaknya saat di Bali, beberapa bulan lalu, di mana para Ketua DPD seluruh Indonesia memberikan dukungan penuh kepada Ketua Umum untuk memimpin partai, menentukan koalisi dan sebagainya.

Ironisnya, dengan kerja keras kami menjalankan 10 langkah di atas, justru berkembang tuduhan bahwa kemenangan Golkar dibumbui dengan “kecurangan”. Padahal kami meyakini bahwa setiap tahapan yang kami lakukan sejak empat tahun lalu, sedikit banyak telah membuahkan hasil. Kerja keras itu tidak akan mengkhianati hasil. Begitulah keadilan dalam hidup, juga di politik. Kalau usaha keras kami direspons dengan tuduhan curang, di mana curangnya, dan bagaimana melakukannya?

Ini sama saja dengan pilpres, di mana pihak yang kalah menganggap 02 curang. Jadi bagi Golkar, silakan saja dibuktikan jika memang ada kecurangan. Semua ada mekanismenya yang bisa diakses oleh publik. KPU juga bisa diakses oleh semua partai, bukan hanya Golkar. Saya di Komisi II DPR misalnya, kolega saya di sana berasal dari semua parpol (fraksi) yang semuanya dekat dengan KPU dan Bawaslu. Tidak ada pihak yang memiliki akses lebih istimewa dari yang lain, silakan saja dicek.

Pengalaman saya memimpin Komisi II, selama ini kami bekerja sangat solid. Tidak pernah ada cerita diantara kami yang berani nyelonong sendiri. Saya sebagai Ketua Komisi II juga pada dasarnya sama dengan yang lain, karena politisi di DPR itu kedudukannya sama. Pimpinan Komisi tak ubahnya hanya sebagai pengatur lalu lintas dan juru bicara saja. Setiap pengambilan keputusan selalu dimusyawarahkan, baik di level pimpinan maupun anggota.

Saya berharap penjelasan ini bisa membantah, bila ada pihak yang mengembangkan spekulasi, memberikan tuduhan miring kepada Golkar. Penjelasan ini kami sampaikan agar publik tahu betapa seriusnya kami melakukan persiapan menghadapi pemilu.

Penulis: Dr Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Umum Korbid Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar