Berita Golkar – Sumber daya alam yang semakin terbatas perlu didayagunakan secara optimal, dengan mengedepankan prinsip efektif dan efisien utamanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam prosesnya, pendayagunaan sumber daya haruslah bertumpu pada kekuatan fundamental bangsa. Artinya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membiarkan euphoria dan ego sektoral menguat.
Hal ini disampaikan oleh Pakar Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana merespons berbagai pemberitaan di media massa pasca pelantikan Presiden beserta Jajaran Menteri (10/24). Terlebih, ada beberapa pernyataan yang mewakili kementerian/lembaga terkait penanganan isu pangan gratis untuk rakyat masih simpang siur.
“Masing-masing instansi nampaknya terus berkutat pada teknis yang bersifat operasional, alih-alih menaikkan ke level strategis dalam memastikan orkestrasi pangan gratis telah terintegrasi, setidaknya di ranah wacana publik, serta lebih holistik dalam ide dan gagasan,” urai Dina, srikandi asli Soloraya.
Dina Hidayana yang juga Ketua Umum IKATANI ini menambahkan penyediaan pangan gratis bagi rakyat di era Presiden Prabowo bukan hal baru di Indonesia, namun fenomenal, karena ditempatkan sebagai program andalan dengan rencana penggunaan anggaran negara tahun 2025 sekitar total 140 triliun untuk swasembada pangan, diantaranya alokasi 71 triliun untuk proyek pangan gratis.
“Di dunia, program sejenis telah ada bahkan sejak akhir abad 19, dimulai di Amerika Serikat. Menurut The Journal of Economics (1910), penyediaan makan gratis oleh Pemerintah AS masa itu dimaksudkan untuk mengatasi persoalan gizi anak masa pertumbuhan, pembelajaran pola makan sehat, sekaligus membiasakan anak-anak untuk bijak memilih makan sehat atau bergizi,” jelas Politisi muda Partai Golkar ini.
“Sehingga setidaknya ada nilai edukasi dan upaya mencetak peradaban generasi masa depan yang diharapkan. Hal tersebut merupakan muatan inti dalam program makan gratis di awal percobaan di Boston dan Philadelphia, AS. Yakni, menumbuhkan kesadaran sejak dini, mendidik pendewasaan dan kematangan mengambil keputusan positif strategis individu warga negara, karenanya urusan pangan bukan sekedar asupan biologis,” tambah Dina Hidayana.
Alumni Doktoral Universitas Pertahanan RI ini turut mengingatkan bertumbuhnya potensi neo imperialisme atau penjajahan jenis baru dalam hal produksi pangan. Faktor ini didorong oleh kemampuan modal negara kaya, tetapi dengan sumber daya seperti lahan pertanian yang minim. Mereka lantas menjadikan negara dunia ketiga sebagai objek penguasaan lahan pertanian.
“Negara-negara kaya, terutama di Amerika, Eropa, Timur Tengah juga Asia selama beberapa dekade telah menginvasi negara-negara berlahan luas dengan “mengambil alih” pengelolaan lahan pertanian, dengan skema investasi. Korsel sejak 2009 bahkan telah memberikan dukungan penuh pada perusahaan swasta milik warganya untuk ekspansi luar negeri dalam kelola pangan,” papar Dina.
Lebih lanjut, Dina Hidayana memandang pemerintahan Prabowo perlu melakukan penguatan fungsi koordinasi lintas kementerian atau lembaga, dalam memoderasi kebijakan yang berorientasi pada kemandirian pangan dan ekonomi secara sektoral.
“Agar lebih satu padan bernuansa visioner, mengarah pada percepatan pencapaian tujuan bernegara yang lebih efektif dan efisien dengan secara nyata mampu mengangkat derajat petani dan kesejahteraan mayoritas warga negara. Mengoptimalkan sistem kerja dan komunikasi yang tidak membingungkan masyarakat perlu diperhatikan,” tegas Dina.
Jumlah aparat yang besar dan anggaran fantastis tidak serta merta berdaya guna, apabila tidak didahului dengan konsep yang komprehensif. Karenanya mindset dalam pengelolaan lahan dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan haruslah berorientasi pada falsafah kebersamaan dan gotong royong khas bangsa Indonesia.
“Tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengupayakan kemandirian dan kedaulatan pangan yang mengakar pada nilai-nilai historis dengan petani lokal sebagai subjek penting, pengelolaan sektor pertanian dan pangan yang tidak merusak alam, menekan importasi bahan baku, meningkatkan pemahaman gizi masyarakat serta bagaimana meminimalisir budaya konsumerisme yang semakin menggurita di semua sektor,” pungkas Ketua Depinas SOKSI, Dina Hidayana. {redaksi}