Berita Golkar – Pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan seseorang, tetapi juga menjadi pintu menuju kehidupan yang madani bagi pembangunan peradaban bangsa. Nyatanya, pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar, justru barang mahal bagi kaum perempuan di Indonesia di era kolonial. Paradigma bahwa perempuan hanya dilahirkan untuk mengurus dapur, sumur dan kasur pernah menggelayuti bangsa ini.
Paradigma tersebut perlahan luntur kala seorang anak perempuan melalui surat-suratnya menceritakan ketidakadilan kaumnya kepada seorang sahabat. Anak itu bernama Raden Ajeng Kartini (RA Kartini). Di masa itu, Kartini melihat fenomena ketidakadilan menggelayuti kaum perempuan, terutama pada persoalan hak mendapatkan pendidikan.
Perjuangan Kartini membangun kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan pendidikan bagi perempuan berbuah manis. Perempuan mulai mendapatkan tempat serta haknya. Sejak era kartini, pendidikan adalah mulai terpenuhi bagi kaum perempuan hingga kini.
Meski begitu, dewasa ini diskriminasi terhadap perempuan masih seringkali terjadi. Perjuangan panjang untuk mewujudkan kesetaraan yang hakiki masih perlu dilakukan oleh Kartini-Kartini masa kini. Salah satu tokoh yang meneruskan perjuangan Kartini dalam mewujudkan kesetaraan dan hak dasar akan pendidikan adalah Hetifah Sjaifudian.
Politisi perempuan Partai Golkar satu ini merupakan wujud dari pengejawantahan Kartini masa kini. Kepeduliannya terhadap dunia pendidikan dan keperempuanan tak perlu diragukan lagi. Hetifah senantiasa ingin membangun paradigma kaum perempuan menjadi lebih modern tanpa harus meninggalkan kodrat dan ajaran luhur budaya bangsa.
Satu perkataan Kartini senantiasa terngiang di telinga Hetifah, bahwa perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan, pemandangannya telah diperluas, tak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
Sarana Hetifah dalam menapaki cita-cita mencerdaskan perempuan Indonesia, dimulai bertahun lalu saat ia mendirikan Akatiga Foundation di tahun 1991. Akatiga Foundation merupakan sebuah lembaga independen dan non profit yang berfokus pada penelitian terhadap penelitian sosial serta evaluasi program kebijakan pembangunan.
Jauh sebelum itu, di masa Hetifah menjalani perkuliahan, dirinya sudah tertempa dengan berbagai gagasan dan pemikiran yang progresif tentang hubungan sosial masyarakat dan keperempuanan. Melalui HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan KOHATI (Korps HMI Wati), Hetifah mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana kesetaraan haruslah direngkuh bukan ditunggu.
Langkah pijakan Hetifah untuk mewujudkan cita-cita masa mudanya menemukan jalan yang luas saat ia memasuki Gedung Parlemen DPR RI di periode 2009-2014. Ladang perjuangannya pun menjadi lebih luas ketika berkecimpung di dunia politik ini. Tidak hanya memperjuangkan masalah keperempuanan, Hetifah kini menjelma menjadi pejuang pendidikan bagi masyarakat.
Berkiprah di parlemen, Hetifah sangat menjaga komitmen untuk menuntaskan berbagai aspirasi konstituennya. Pada periode masa jabatan DPR RI periode 2019-2024, Hetifah mendapat amanah jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang membidangi persoalan sektor pendidikan, keolahragaan, dan sejarah serta budaya.
Saat melaksanakan amanah tugasnya, Hetifah terkenal dengan legislator yang rajin menebar program beasiswa untuk masyarakat sebagai program aspirasinya.
Meskipun Hetifah menggunakan PIP (Program Indonesia Pintar) yang notabene program pemerintah dalam penyaluran aspirasinya. Berkat gencarnya aksi Hetifah menyalurkan beasiswa ini, kini PIP lebih dikenal dengan istilah PIP Hetifah. Konsistensi Hetifah dalam menyalurkan program aspirasi berbentuk program beasiswa menuai hasil positif.
Saat ia mencalonkan diri kembali sebagai Caleg DPR RI Partai Golkar dari Dapil Kalimantan Timur di Pemilu 2024, raihan suara Hetifah mencapai 146.023 suara. Hetifah mengklaim bahwa raihan suaranya tanpa menggunakan politik uang sepeser pun. Raihan suara sebesar itu dihasilkan Hetifah dari balasan cinta masyarakat Kaltim kepadanya.
Hetifah meyakini, bahwa pendidikan adalah pintu gerbang bukan hanya menuju kesuksesan, tetapi mampu menghasilkan peradaban. Nyatanya mewujudkan kesetaraan bagi perempuan bukanlah menjadi tanggung jawab perempuan semata. Kaum pria juga perlu mendapat pencerahan tentang pentingnya memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak terhadap perempuan.
Melalui pendidikan dan pemikiran yang progresif untuk semua, gagasan kesetaraan akan semakin mudah diwujudkan. Karena itu spektrum persoalan kesetaraan seharusnya bukan lagi berbasis gender, lebih dari itu, kesetaraan harus diwujudkan berbasis prinsip universalitas. Sebab marjinalisasi kini tidak hanya menggelayuti kaum perempuan, tetapi setiap individu yang hidup di bumi Indonesia.
Bagi Hetifah, kita adalah generasi penerus perjuangan Kartini yang tangguh. Mimpi Kartini tentang kesetaraan tentu bukan hanya khayalan, tapi harus bisa diwujudkan. Maka menjadi agen untuk merealisasikan cita-cita Kartini adalah sebuah keniscayaan bagi kita semua. Melalui semangat dan perjuangan Kartini, kita harus membangun generasi muda yang lebih kreatif, dan inovatif di bumi pertiwi. {redaksi}