Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengembalikan dana reboisasi dan reklamasi yang selama ini digunakan untuk keperluan lain.
Firman menyebut bahwa dana tersebut adalah amanah negara yang secara tegas diprioritaskan untuk pemulihan hutan, bukan dialihkan ke pos anggaran lain. Ia mengingatkan bahwa penyimpangan pemanfaatan dana reboisasi hanya akan memperburuk kondisi hutan Indonesia yang sudah berada pada titik kritis.
Dalam pernyataannya, Firman menyoroti angka deforestasi yang masih mengkhawatirkan. Sepanjang 2022 hingga 2023, Indonesia kehilangan lebih dari 133 ribu hektare kawasan hutan. Menurutnya, situasi ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan hutan belum berjalan optimal dan pemerintah perlu bergerak lebih cepat dan lebih tegas.
“Dana reboisasi itu bukan dana serbaguna. Itu dana untuk menanam pohon, memulihkan hutan, dan mengembalikan kehidupan alam seperti sediakala. Kalau negara terus membiarkan dana itu dipakai untuk kepentingan lain, kerusakan hutan hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadi bencana ekologis,” tegas Firman.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini juga menyinggung komitmen Presiden Prabowo yang menargetkan reboisasi seluas 12,7 juta hektare. Menurutnya, janji besar tersebut hanya dapat diwujudkan jika pemerintah memastikan seluruh instrumen pendukung, khususnya dana reboisasi, kembali pada tujuan dasarnya.
Ia bahkan mengusulkan agar pemerintah menerapkan moratorium terhadap seluruh izin baru pengelolaan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi, hingga negara mampu mengendalikan laju kerusakan yang terjadi. “Hentikan dulu izin-izin baru. Negara butuh jeda untuk memulihkan apa yang sudah rusak. Kalau tidak, kita hanya menumpuk masalah tanpa solusi,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa penegakan hukum di sektor kehutanan harus mengedepankan pendekatan restoratif dibanding pendekatan retributif semata. Menurut Firman, pemulihan lingkungan tidak akan pernah efektif jika pelaku hanya dijatuhi hukuman tanpa diwajibkan memulihkan kerusakan yang telah mereka timbulkan.
“Penegakan hukum lingkungan harus berbasis pemulihan. Vonis tidak ada manfaatnya kalau hutan tetap rusak. Pelaku harus ikut memperbaiki apa yang mereka rusak, itu inti restorasi,” kata Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI ini.
Dalam paparannya, Firman mengingatkan bahwa Indonesia memiliki perangkat hukum yang kuat, termasuk UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang memuat ancaman pidana hingga 15 tahun dan denda puluhan miliar rupiah. Namun, kerusakan hutan tetap masif akibat lemahnya pengawasan, praktik korupsi, serta tarik-menarik kepentingan politik dalam pengelolaan kawasan hutan.
“Hukum kita keras, tapi pelaksanaannya lemah. Inilah masalah utamanya. Tanpa pengawasan yang jujur dan tegas, berapa pun ancaman pidana tidak akan mengubah keadaan,” ujar legislator asal Pati, Jawa Tengah tersebut.
Ia mengingatkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan juga harus diperkuat. Di banyak wilayah, masyarakat adat dan komunitas lokal justru menjadi garda terdepan dalam menjaga ekosistem, namun sering kali tidak diberi ruang yang memadai dalam perumusan kebijakan.
“Masyarakat lokal itu punya kearifan yang sudah turun-temurun. Jangan hanya dilibatkan ketika ada konflik. Libatkan mereka dalam perencanaan, pengawasan, dan pemulihan,” tambah politisi senior Partai Golkar ini.
Menutup pernyataannya, Firman menyerukan agar pemerintah menempatkan perlindungan hutan sebagai prioritas nasional. Baginya, hutan bukan sekadar kawasan hijau, tetapi penyangga kehidupan bangsa, sumber ekonomi jangka panjang, dan fondasi stabilitas lingkungan Indonesia.
“Hutan adalah pagar hidup bagi bangsa ini. Kalau pagar itu runtuh, kita kehilangan perlindungan. Pemerintah harus berdiri paling depan dalam menjaga hutan, bukan hanya lewat retorika, tetapi lewat kebijakan, anggaran, dan tindakan nyata di lapangan,” tutup Firman.
Dengan tekanan deforestasi yang masih tinggi dan janji reboisasi yang besar di depan mata, Firman menegaskan bahwa pemerintah harus bergerak cepat dan disiplin. Tanpa langkah nyata, Indonesia berisiko kehilangan aset ekologis terbesar yang dimiliki negeri ini.













